BANJAR, RADARTASIK.ID – Kota Banjar diguncang isu tak sedap terkait tata kelola pemerintahan desa.
Kali ini, sorotan tertuju pada dugaan penggadaian kendaraan dinas milik Desa Mulyasari oleh oknum perangkat desa.
Dugaan tersebut menimbulkan keprihatinan mendalam dari masyarakat, salah satunya datang dari organisasi Poros Sahabat Nusantara (Posnu) Kota Banjar.
Baca Juga:Kendaraan Dinas Digadaikan, Komisi I DPRD Kota Banjar BersuaraKedatangan Pihak Ketiga Dinantikan, Pembangunan Banjar Waterpark Harus Dilanjutkan
Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang aktif mengawal jalannya pemerintahan, Posnu menyayangkan terjadinya praktik yang dianggap menyimpang dari prinsip tata kelola aset publik.
Dalam audiensi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kota Banjar pada 7 Juli 2025, Posnu menegaskan perlunya ketegasan dari pemerintah terhadap kasus kendaraan dinas milik Desa Mulyasari digadaikan.
”DPMD dan Inspektorat harus tegas,” ucap Pembina Posnu Kota Banjar Muhlison beberapa waktu lalu.
Muhlison, menilai bahwa penggadaian aset pemerintah desa merupakan pelanggaran serius.
Ia mempertanyakan mengapa aset yang notabene milik publik bisa diperlakukan seolah milik pribadi.
Baginya, hal tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kewenangan dan jabatan, meskipun terjadi di level desa.
Ia juga menyayangkan belum adanya tindakan konkret dari DPMD, padahal dinas tersebut memiliki peran penting dalam pengawasan dan pembinaan pemerintah desa.
Posnu mendesak agar sanksi tegas dijatuhkan kepada oknum perangkat desa yang terbukti melakukan pelanggaran, guna mencegah kejadian serupa terulang.
Lebih lanjut, Muhlison mengkritisi pernyataan kepala desa yang dianggap kontradiktif.
Baca Juga:Kirab Ngabumi: Tradisi Kearifan Lokal yang Menghubungkan Manusia, Alam, dan Leluhur di Kota BanjarBanjar Waterpark Masih Berpeluang Hidup? Investornya Ternyata Beralih ke Wahana Alam Parung Tasikmalaya
Di satu sisi membantah, namun di sisi lain terdapat bukti pengamanan kendaraan inventaris oleh Camat Pataruman.
Fakta di lapangan menunjukkan adanya kesepakatan tertentu, yang justru menguatkan dugaan adanya penyimpangan.
Muhlison juga menyinggung aspek kesejahteraan perangkat desa.
Menurutnya, gaji dan tunjangan yang diterima selama ini, ditambah dengan fasilitas kendaraan dinas, seharusnya cukup untuk menunjang kinerja.
Ia mempertanyakan apakah tindakan tersebut didorong oleh kebutuhan pribadi yang tidak terpenuhi, sehingga nekat menggadaikan kendaraan operasional desa.
Ia menekankan, tindakan tersebut tidak bisa dianggap sepele dan harus menjadi perhatian serius pemerintah kota.
Bila dibiarkan, praktik ini bisa menjadi preseden buruk dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan di tingkat akar rumput.