“Serta program pemberdayaan masyarakat terpaksa ditunda. Ini akan berdampak pada perputaran uang di daerah dan otomatis akan berkurang,” jelas dia.
Dampak lanjutannya akan memperlambat konsumsi rumah tangga sebagai komponen utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu, kata Andi, kebijakan ini juga dapat merusak citra Kabupaten Tasikmalaya di mata investor karena minimnya kepastian fiskal.
“Dengan kebijakan yang tiba-tiba ini akan merusak citra positif untuk beberapa investor dalam menanamkan investasinya di Kabupaten Tasikmalaya,” tambahnya.
Baca Juga:Ratusan Ribuan Warga Priangan Timur Terdampak Penonaktifan BPJS Kesehatan Gratis oleh Kemensos7,3 Juta Peserta PBI JKN Dinonaktifkan, Pemerintah Pastikan Pengganti dari Warga Miskin
Tak hanya itu, ia juga menilai kebijakan tersebut berpotensi menurunkan kualitas layanan publik karena sejumlah program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat terancam batal.
Potensi inflasi pun dinilai bisa muncul akibat berkurangnya daya beli masyarakat dan menurunnya aktivitas ekonomi lokal. Hal ini, kata Andi, justru bertentangan dengan upaya pemerintah pusat mempercepat pembangunan.
“Mengenai kontroversi mengenai Biaya Tidak Terduga (BTT) Rp28 miliar yang telah habis, kami memandang upaya pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua atau di pertengah tahun agar menjaga akselerasi dan menjaga daya beli masyarakat itu lebih penting,” pungkasnya. (Diki Setiawan)