PANGANDARAN, RADARTASIK.ID – Pola kepemimpinan sejumlah pejabat publik, termasuk di Kabupaten Pangandaran, yang belakangan ramai mengandalkan aksi teatrikal di depan kamera mulai mendapat sorotan kritis.
Rumah Perjuangan 145 Pangandaran menilai bahwa tren tersebut berpotensi menjadi jebakan sensasi tanpa makna substansial yang jelas bagi masyarakat.
Asep Saepudin, salah satu penggiat dari Rumah Perjuangan 145 Pangandaran, menilai bahwa tren membuat konten di media sosial kini telah menjadi pilihan banyak pejabat publik, termasuk gubernur, bupati, hingga wali kota.
Tujuan utamanya dianggap bukan lagi pelayanan masyarakat, melainkan mengejar popularitas.
Baca Juga:Balita Sakit Parah, Puskesmas Pangandaran Tak Beri Ambulans, Dirujuk Pakai Sepeda Motor, Akhirnya MeninggalBye-Bye Uang Tunai! Sistem Booking Tiket Online Objek Wisata Pangandaran Bakal Diterapkan
Ia menjelaskan, berbagai aksi para pejabat turun langsung ke tengah masyarakat memang awalnya sempat menarik perhatian publik.
Namun, seiring waktu, masyarakat mulai merasakan kejenuhan karena banyak konten yang dianggap tidak menyentuh akar permasalahan atau memberikan solusi nyata.
Menurutnya, sebagian besar masyarakat kini menilai konten-konten tersebut hanya biasa saja.
Mereka tidak lagi melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa.
Apa yang diharapkan justru bukan tontonan, melainkan tindakan nyata dalam bentuk program-program sosial yang bisa menjawab persoalan kehidupan sehari-hari.
”Pola konten di media sosial yang ditampilkan di depan kamera justru mengaburkan fokus utama dari seorang pemimpin, yakni memperjuangkan kebijakan yang adil dan berkelanjutan,” terangnya kepada Radartasik.id baru-baru ini.
Ia menekankan, tugas pemimpin adalah memperjuangkan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat, bukan sekadar membangun citra di depan kamera.
Meskipun pemimpin memang perlu hadir di ruang publik, Asep menekankan pentingnya keseimbangan.
Baca Juga:Duit Sudah Turun dari Pusat, Tapi Gaji ke-13 PNS Pangandaran Belum Cair, Ada Apa?Anggota Serikat Petani Pasundan di Pangandaran Diduga Dikeroyok, Walhi Jabar Mengecam
Jika semua hal dijadikan konten, maka menurutnya, akan muncul kejenuhan dari masyarakat yang pada akhirnya tidak merasa benar-benar diperhatikan.
Baginya, rakyat membutuhkan bentuk perhatian yang konkret, bukan hanya konsumsi visual semata.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran bahwa pola kepemimpinan yang terlalu mengandalkan media sosial justru dapat menjebak rakyat dalam dunia penuh ilusi dan sensasi, ketimbang memberikan ruang edukasi politik yang sehat.
Konten-konten seperti ini, menurutnya, bisa dikategorikan sebagai aggressive populism, karena kerap memainkan emosi publik tetapi tidak selalu disertai dengan pembangunan kebijakan yang kuat dan partisipatif. (Deni Nurdiansah)