TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Di balik hijau hamparan sawah di Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, terdapat kisah sukses tentang plasma nutfah unggulan daerah, yakni itik cihateup.
Bukan sekadar unggas biasa, itik cihateup merupakan kekayaan lokal yang kini telah menembus pasar internasional, mulai dari Jepang hingga Cina.
Anas Platyrhynchos javanica, nama ilmiahnya, menjadi salah satu komoditas ternak unggas lokal Tasikmalaya yang potensial sebagai penghasil telur maupun daging.
Baca Juga:Parah! Dua Pemuda di Kota Tasikmalaya Ini Sembunyikan 4 Dus Miras di MusholaTerkait Perpanjangan Jabatan Sekda Tasikmalaya, Ade Menandatangani, Cecep Akan Mengevaluasi!
Widiyana Hilmi S.Sos, peternak Itik Cihateup sekaligus pionir pengembangan plasma nutfah Rajapolah ini, menjelaskan kekhasan unggas yang ia pelihara sejak kecil.
Selain postur tubuhnya yang tinggi dan besar, ciri khas itik cihateup ada pada garis hitam di sisi tubuhnya.
Menariknya, garis hitam itu tidak akan hilang meskipun sudah molting atau rontok bulu.
“Kalau itik yang lainnya terdapat garis hitam, namun ketika sudah molting itu tidak ada warna hitam legam. Melainkan warnanya malah menjadi coklat,” ujarnya.
Itik cihateup juga dikenal memiliki leher panjang yang menjadi salah satu karakter pembeda dari bebek lainnya.
Dalam setahun, rata-rata satu ekor itik menghasilkan 270 sampai 285 butir telur per satu kali siklus molting, bahkan ada yang bisa mencapai 360 butir per tahun.
Namun, Widiyana lebih memilih menjaga kesehatan itiknya agar tetap bisa bertelur secara kontinu.
Baca Juga:Sekolah Swasta di Priangan Timur Bingung Soal Teknis Sekolah Gratis yang Diputus Mahkamah KonstitusiGubernur Jabar Minta Cecep-Asep Bangun Boboko Raksasa di Tasikmalaya!
“Sebagai manusia ada rasa kasihan atau prikehewanan. Makanya diberhentikan ketika sudah memasuki usia lebih dari 1,7 bulan (1 tahun 7 bulan, red). Jikalau bebek tersebut tidak molting atau rontok bulu secara alami, pada usia 1 tahun 5 bulan.” ungkapnya.
Di tengah geografis Tasikmalaya yang berbukit, sebagian itik dipelihara dengan cara diangon oleh warga, sebagian lagi dipelihara intensif di kandang milik Widiyana.
Kondisi alam membuat itik yang mencari makan sendiri harus melalui proses molting atau pergantian bulu, sebanyak tiga kali dalam tiga tahun.
Namun, itik yang dipelihara di kandang dengan standar operasional prosedur (SOP) yang baik, bisa hidup lebih panjang.
“Semua itu tergantung dari sistem pemeliharaan atau SOP-nya, ketika SOP-nya dipakai dan pemeliharaannya bagus, maka hasilnya juga akan maksimal,” katanya.