TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Perbandingan gaya komunikasi antara Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan dan Wakil Wali Kota, Diky Chandra, kian mencuat di tengah masyarakat. Sejak dilantik, keduanya tampil dengan pendekatan yang kontras.
Diky Chandra terlihat lebih aktif menerima audiensi, menghadapi langsung massa aksi, dan bahkan beberapa kali terlibat dalam kegiatan sosial seperti membersihkan selokan bersama warga. Sebaliknya, Viman dinilai lebih menekankan kerja di balik meja, fokus pada koordinasi birokrasi dan penyampaian agenda lewat media sosial.
Tokoh seniman Tasikmalaya, Ashmansyah Timutiah, menilai situasi ini berisiko menciptakan jarak simbolik antara Wali Kota dan masyarakat. Ia menyebut kehadiran langsung pemimpin di ruang-ruang publik sebagai kebutuhan emosional warga yang tak bisa digantikan oleh unggahan digital.
Baca Juga:Gubernur Jabar Minta Cecep-Asep Bangun Boboko Raksasa di Tasikmalaya!Gubernur Jabar Sebut Anggaran Tasik Paling Besar, Tapi Jalannya Jelek, Jangan Terlalu Banyak Belanja Hibah!
“Viman belum bisa menghadirkan dirinya secara nyata di tengah masyarakat. Kita rindu pemimpin yang menyapa rakyatnya secara langsung, yang bisa disentuh dan mendengar langsung keluh kesah warga, bukan hanya lewat kamera atau tim media sosial,” katanya, Senin (9/6/2025).
Ia menambahkan bahwa masyarakat Tasikmalaya memiliki budaya kolektif yang kuat—kebersamaan, guyub— dan simbol kehadiran pemimpin menjadi tolok ukur kedekatan, bukan hanya narasi keberhasilan di media.
“Kalau terlalu sering menyampaikan lewat medsos, ada risiko dianggap jauh, elitis, dan tidak memahami denyut keseharian warga. Ini bukan soal program semata, tapi soal rasa,” tambahnya.
Ashmansyah juga menyoroti narasi publik yang mulai terbentuk, yakni bahwa peran Viman dan Diky seperti terbagi: satu administratif, satu kultural. Namun ia mengingatkan bahwa kesan seperti ini bisa berbahaya jika terus berlanjut tanpa koreksi.
“Kalau masyarakat mulai mengidentifikasi ‘pemimpinnya’ hanya pada satu figur, ya akan muncul resistensi terhadap yang lain. Itu sudah terlihat dari munculnya banner-banner di depan Bale Kota,” ujarnya, merujuk pada sebuah spanduk besar yang sempat terpampang bertuliskan: “Kami percaya Wakil Wali Kota Dicky Candra dan Sekda bisa ngurus rakyat miskin. Walikotana ku Dicky Candra.”
Spanduk tersebut, menurutnya, bukan sekadar guyonan politik jalanan. Tapi ekspresi dari kebutuhan warga akan pemimpin yang terasa hadir secara nyata, terutama di masa-masa penuh harapan setelah pergantian kepemimpinan.