Sarasa Institute Desak Audit Forensik Tata Kelola Keuangan Kabupaten Pangandaran, Apakah KPK Harus Terjun?

Audit Forensik Tata Kelola Keuangan Kabupaten Pangandaran
Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda. (Istimewa for Radartasik.id)
0 Komentar

PANGANDARAN, RADARTASIK.ID – Sorotan publik terhadap kondisi keuangan Kabupaten Pangandaran kembali mencuat, seiring dengan viralnya pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), yang dalam sebuah forum resmi menyebut Pangandaran sebagai ”kabupaten setengah sekarat”.

Pernyataan ini mengacu pada defisit anggaran Kabupaten Pangandaran yang berkepanjangan, keterlambatan pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama lima bulan, serta langkah pemerintah daerah mengajukan pinjaman ke bank bjb.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda, menyampaikan keprihatinan mendalam dan menilai bahwa pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi tersebut mewakili keresahan masyarakat yang selama ini tidak tersuarakan.

Baca Juga:Pangandaran Masih Gunakan Jam Sekolah Lama, Aturan Gubernur Dedi Mulyadi Belum DiterapkanSatpol PP Pangandaran Tertibkan Perahu Nelayan dan Lapak Pedagang di Trotoar Pantai Timur, Ada Agenda Apa?

Tedi menegaskan, krisis yang terjadi bukan semata soal teknis manajemen keuangan, melainkan mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola anggaran dan kebijakan fiskal daerah.

Sebagai respons atas kondisi ini, Sarasa Institute mendesak agar dilakukan audit forensik tata kelola keuangan Kabupaten Pangandaran secara menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). ”Serta menuntut keterlibatan aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh,” tegasnya kepada Radartasik.id, Minggu, 8 Juni 2025.

Menurutnya, audit reguler tidak cukup untuk mengungkap potensi fraud yang terjadi secara sistematis dan berulang.

Kritik keras juga dilayangkan terhadap keputusan Pemerintah Kabupaten Pangandaran yang kembali mengajukan pinjaman ke bank bjb.

Langkah ini dinilai sebagai pengulangan kebijakan yang sebelumnya telah mendapat penolakan luas dari masyarakat.

”Sarasa Institute menilai bahwa pendekatan tambal-sulam melalui utang jangka panjang justru memperburuk beban fiskal dan mengorbankan kepentingan generasi mendatang,” katanya.

Lebih lanjut, Sarasa Institute juga menyoroti sejumlah permasalahan yang belum disentuh dalam kritik Gubernur Jabar, namun sangat krusial, yaitu belum dibayarkannya Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penghasilan Tetap (Siltap) bagi perangkat desa.

Baca Juga:Pemasangannya Asal-asalan, Kabel Internet Berpotensi Menjerat Warga Pangandaran100 Hari Kerja Bupati Pangandaran, HMI Ingatkan Bahaya Gonta-ganti Program

Keterlambatan ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap regulasi nasional, termasuk Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No 20 Tahun 2018, serta PP No 43 Tahun 2014.

Dalam aturan tersebut, DBH dan Siltap merupakan hak yang wajib dibayarkan tanpa penundaan.

Tedi menjelaskan, pelanggaran atas hak-hak perangkat desa bukan sekadar persoalan administratif, melainkan juga dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum yang mengarah pada potensi praktik koruptif.

0 Komentar