TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Keraguan Pemkot Tasikmalaya dalam hal dasar regulasi untuk menyikapi bangunan Minimarket Alfamidi Ilegal dinilai bisa memicu masalah besar. Hal ini akan menjadi celah bagi pengusaha nakal bahwa membangun tempat usaha seolah tidak perlu menempuh proses perizinan.
Pengamat pemerintahan Tasikmalaya Asep M Tamam menilai aneh ketika birokrasi ragu-ragu dalam menerapkan aturan. Padahal masyarakat termasuk pengusaha butuh kepastian hukum dan aturan. “Pemimpin itu harus memberi solusi, kalau malah bingung ya bahaya,” ungkapnya kepada Radar, Minggu (1/6/2025).
Menurutnya pemerintah sudah memiliki perangkat yang regulasi yang terbilang lengkap, meskipun sebagian masih bersifat umum. Keraguan dari dinas-dinas ini harus dijawab oleh bagian hukum yang dimiliki Pemkot Tasikmalaya. “Kalau bagian hukum juga masih kebingungan, ya keterlaluan,” terangnya.
Baca Juga:Kebijakan Infak Guru Madrasah di Kota Tasikmalaya Kontroversi Dipicu Komunikasi, Tapi Didukung MUIKEMENAG MENGIMBAU, KEMENAG MEMBATALKAN
Keraguan atau kebingungan Pemkot menurutnya akan memicu masalah baru yang lebih besar. Karena bisa menimbulkan tempat-tempat usaha liar di Kota Tasikmalaya yang sulit dikendalikan.
“Khususnya pengusaha nakal yang memandang bahwa pemerintah bingung dengan aturannya, jadi bikin usaha dengan bangunan tanpa izin pun tidak akan ada konsekuensi,” teranya.
Beda halnya dengan pengusaha yang memang punya itikad baik untuk menempuh prosedur. Mereka bisa jadi malah ragu-ragu untuk berinvestasi dan membuka usaha di Kota Tasikmalaya. “Karena masyarakat termasuk pengusaha butuh kepastian aturan hukum,” katanya.
Meskipun dari informasi yang dia dapat, proses membuka usaha relatif mahal. Meskipun judul besarnya proses perizinan di pemerintah itu adalah gratis. “Misal izin bangunan ke pemerintah itu katanya gratis, tapi harus melibatkan konsultan yang tarifnya mahal,” terangnya.
Sebelumnya, koordinator Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi Irwan Supriadi yang akrab disapa Iwok mengatakan bahwa berbagai regulasi menurutnya sudah cukup jelas. Dari mulai PP nomor 16 Tahun 2021 serta UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Seharusnya tidak ada lagi ruang untuk kompromi hukum, bangunan tanpa PBG dan SLF adalah ilegal,” ujarnya.
Cukup disesalkan sampai saat ini Pemkot belum ada langkah nyata di lapangan untuk menyikapi pelanggaran tersebut. Terkesan ada pembiaran sehingga pelaku usaha yang tidak menempuh prosedur tetap bisa melakukan aktivitasnya. “Bangunan tetap berdiri, gerai tetap buka, dan aktivitas ekonomi tetap bergulir,” terangnya.(rangga jatnika)