Rikha Surtika Dewi, Psikolog Penggerak Literasi Mental, Menyayangkan Maraknya Self-Diagnosis di Era Digital 

seminar
Psikolog Rikha Surtika Dewi SPsi MPsi (kiri) dalam sebuah acara.
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Bagi sebagian orang, pilihan menjadi seorang psikolog lahir dari kecintaan terhadap ilmu. Tapi bagi Rikha Surtika Dewi SPsi MPsi, profesi ini adalah panggilan hati yang tumbuh melalui pengalaman nyata, bukan dari ruang kelas, melainkan dari lorong panti jompo, ruang guru bimbingan konseling, dan ruang-ruang terapi anak berkebutuhan khusus.

“Waktu pertama kali saya lulus S1, saya sempat menjadi pemberi layanan psikologis di panti jompo. Rasanya mereka sangat membutuhkan kehadiran saya, tapi saya merasa belum maksimal. Itu titik awal saya menyadari, saya harus belajar lebih jauh,” kenang Rikha.

Lulusan Sarjana Psikologi Universitas Islam Indonesia ini, awalnya belum membayangkan bahwa profesi psikolog bisa dijalani secara praktik mandiri. Namun, pengalaman di lapangan mengubah cara pandangnya. Ia pernah menjadi guru BK, terlibat langsung menangani siswa berkebutuhan khusus di SLB Yogyakarta, hingga terjun sebagai narasumber dan pendamping psikososial pascabencana.

Baca Juga:Aston Inn Tasikmalaya Bagikan 10 Tips Pesan Kamar Mudah Melalui WebsiteTelkomsel Dukung Kelancaran Jemaah Haji Melalui Paket RoaMAX Haji hingga GraPARI Makkah

Setiap pengalaman menyadarkannya bahwa dunia psikologi bukan sekadar menyelesaikan masalah, tapi tentang memberi ruang bagi individu untuk memahami dan menguatkan dirinya sendiri.

“Jadi psikolog bukan soal memberi solusi. Kami fasilitator, yang membantu orang lain menggali potensi dan menghadapi masalahnya dengan kekuatan yang ada dalam dirinya sendiri,” ujarnya.

Rikha mulai praktik sejak 2014, masa transisi awal digitalisasi kehidupan sosial. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat berubah, informasi menyebar liar, dan istilah-istilah psikologi menjadi konsumsi harian netizen. Ia mengapresiasi kesadaran baru masyarakat terhadap kesehatan mental, namun menyayangkan maraknya self-diagnosis tanpa pemahaman yang cukup.

“Kesadaran masyarakat meningkat, terutama remaja. Tapi ada bahaya ketika diagnosis dilakukan sendiri tanpa pemahaman klinis. Psikologi itu bukan sekadar istilah. Perlu proses, edukasi, dan keterlibatan profesional,” sebutnya.

Dalam perjalanannya, Rikha aktif mengangkat isu-isu sensitif seperti kekerasan seksual, pendidikan seks untuk anak usia dini, bullying, hingga dampak digitalisasi terhadap anak dan keluarga. Ia kerap menjadi narasumber di media masa, selain aktif menulis di jurnal ilmiah dan mengisi pelatihan parenting.

Rikha adalah cermin dari semangat belajar tanpa henti. Setelah menyelesaikan Pendidikan Profesi Psikolog di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, ia terus mengembangkan keterampilannya. Ia mengantongi sertifikasi Certified Microexpression, Certified NLP Coaching, hingga Certified Statement Analysis. Ia juga terlibat dalam pelatihan intensif seperti Play Therapy, Hypnocounseling, dan berbagai pendekatan untuk asesmen psikologis anak dan remaja.

0 Komentar