May Day 2025: Pekerja Perempuan Masih Terbelenggu Ancaman Diskriminasi Gender dan Kekerasan

may day, nasib pekerja perempuan di 2025
Ipa Zumrotul Falihah
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) setiap 1 Mei menjadi momen penting untuk mengapresiasi kontribusi kaum pekerja dalam pembangunan. Namun di balik seremonial tahunan ini, masih tersimpan kenyataan pahit, khususnya bagi buruh perempuan.

Kaum hawa hingga kini masih menjadi kelompok paling rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan. Hal itu disampaikan aktivis perempuan dan Direktur Taman Jingga, Ipa Zumrotul Falihah, dalam refleksi Hari Buruh 2025.

Menurutnya, pekerja perempuan tidak hanya menghadapi beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga, tetapi juga masih dibayangi sistem kerja yang tidak adil.

Baca Juga:Persiapan Kota Tasikmalaya Jelang Apeksi 2025: Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga!Petani Resah, Maling Gabah Padi Makin Gentayangan di Kawalu Kota Tasikmalaya

“Diskriminasi terhadap pekerja perempuan terjadi dalam banyak bentuk. Mulai dari ketimpangan upah, sulitnya akses promosi, pelecehan seksual, hingga stereotip bahwa perempuan kurang cekatan dan tidak cocok di posisi strategis,” ujarnya.

Selain itu, Ipa mengkritisi praktik eksploitatif di sejumlah sektor kerja di mana pekerja perempuan diberi beban kerja tambahan di luar tanggung jawab kontraktual hanya karena dinilai lebih ‘menjual’ secara visual. Bahkan, dalam beberapa kasus, penampilan fisik seperti ‘good looking’ menjadi syarat kerja tak tertulis.

Tak hanya itu, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak juga turut memperburuk kondisi buruh perempuan. Data yang dihimpun berbagai organisasi buruh menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen korban PHK di sektor industri awal tahun ini adalah perempuan. Ini diperparah dengan sistem kerja fleksibel tanpa status tetap dan pemberlakuan upah minimum yang tak memperhitungkan kebutuhan pekerja perempuan yang sudah berkeluarga.

“Kondisi ini makin menyulitkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Negara seharusnya hadir menjamin perlindungan sebagaimana diamanatkan UUD 1945,” tegas Ipa.

Meski Indonesia memiliki sejumlah regulasi untuk melindungi pekerja perempuan—seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Permenaker Nomor 33 Tahun 2016—namun implementasinya masih jauh dari harapan. Fasilitas seperti ruang laktasi, cuti haid dan cuti melahirkan kerap tidak disediakan atau tidak dihormati oleh perusahaan.

Ipa juga menyoroti nasib pekerja perempuan di sektor informal, khususnya pekerja rumah tangga (PRT) yang belum memiliki perlindungan hukum yang jelas. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah digagas sejak hampir dua dekade lalu, hingga kini belum juga disahkan oleh DPR RI.

0 Komentar