Menurut Irwan, tunjangan perumahan dan transportasi yang berasal dari keuangan negara wajib dipertanggungjawabkan. Namun dalam praktiknya, pembayaran tunjangan dilakukan secara lumpsum dan melekat pada gaji, tanpa bukti pengeluaran riil.
“Semua pembayaran tidak dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara material, sehingga terjadi penyalahgunaan keuangan yang menyebabkan kerugian negara (daerah),” terangnya.
Ia mengutip Pasal 17 Ayat (3) PP Nomor 18 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa tunjangan perumahan harus sesuai standar harga sewa rumah negara. Namun fakta di lapangan, menurutnya, jauh dari asas kewajaran dan kepatutan.
Baca Juga:Pemkot Tasikmalaya Pastikan Bakal Aktif Promosi Potensi Daerah di Apeksi 2025 SurabayaPersiapan Kota Tasikmalaya Jelang Apeksi 2025: Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga!
“Disinilah letak korupsi kebijakan sebagai salah satu bentuk perampokan uang rakyat,” pungkasnya.
Irwan juga menyoroti tren peningkatan signifikan tunjangan setiap tahunnya yang membebani APBD Kota Banjar. Karena itu, ia menekankan bahwa sistem pembayaran seharusnya berbasis biaya riil (Ad Cost), bukan lumpsum.
“Kami mendukung pihak Kejaksaan Negeri Kota Banjar untuk mengusut tuntas dugaan kasus korupsi, yang hanya akan merugikan rakyat Kota Banjar,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penentuan besaran tunjangan biasanya berdasarkan hasil appraisal oleh konsultan yang disewa pemerintah. Tim appraisal inilah yang menjadi rujukan bagi penyusunan Perwal terkait tunjangan. (Anto Sugiarto)