RADARTASIK.ID – Tarif impor yang dulunya hanya menjadi persoalan teknis dalam dunia bisnis, kini menjelma menjadi masalah nyata yang dirasakan langsung oleh konsumen. Seiring dengan ketegangan perdagangan global, sejumlah perusahaan besar mulai memindahkan beban biaya tarif ke harga produk yang dijual ke publik.
Mulai dari industri berat seperti GE Aerospace hingga perusahaan barang mewah seperti LVMH dan Hermes, serta raksasa telekomunikasi seperti Verizon, banyak yang telah menyatakan niatnya untuk menaikkan harga sebagai respons atas beban tarif yang meningkat.
Hermes, misalnya, baru-baru ini memutuskan untuk menaikkan harga produknya di Amerika Serikat, sepenuhnya membebankan biaya tarif terhadap barang-barang asal Eropa kepada konsumen di sana.
Baca Juga:Hasil RUPST Bank SMBC Indonesia 2025: Pemimpin Baru, Laba MenggembirakanBagaimana PT Trisula International Tbk (TRIS) Menghadapi Pelemahan Rupiah dan Ketegangan Perdagangan AS?
Five Below, peritel yang dikenal dengan produk-produk murahnya, juga menyusun strategi harga baru.
Mereka berencana membulatkan harga ke atas atau ke bawah demi menyederhanakan dampak kenaikan biaya.
Sebagai contoh, produk cat kuku Sally Hansen yang sebelumnya dijual seharga $1,75 kini bisa dihargai $2.
Menurut pimpinan keuangan LVMH, Cecile Cabanis, strategi harga tidak bisa digeneralisasi.
Setiap merek dan kategori produk memiliki karakteristik tersendiri yang memengaruhi keputusan harga. ”Ini tidak bisa disamaratakan,” kata Cecile Cabanis seperti dikutip WSJ.
Hal ini menunjukkan bahwa proses menentukan harga bukan hanya soal hitungan, tapi juga soal seni memahami perilaku konsumen.
Dilema utama perusahaan adalah memilih antara meneruskan biaya tarif sepenuhnya ke konsumen—yang bisa berisiko menurunkan permintaan—atau menyerap biaya itu sendiri dan mengorbankan margin keuntungan.
Baca Juga:Inilah Kinerja PT Pelayaran Nasional Ekalya Purnamasari Tbk dalam Laporan Tahunan TerbaruLaporan Keuangan PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk untuk Triwulan I 2025: Analisis Keuangan dan Kinerja Usaha
Hyundai Motor, misalnya, memilih untuk mempertahankan harga sampai Juni meskipun menghadapi tarif sebesar 25 persen untuk kendaraan impor.
Mereka khawatir bahwa konsumen yang sudah sangat sensitif terhadap harga mobil bisa kehilangan minat jika harga dinaikkan.
”Anda mungkin tidak tahu harga tas, jaket, atau sepatu, tapi semua orang tahu harga mobil,” ungkap CEO Hyundai, Jose Munoz, dilansir WSJ.
”Kalau saya langsung naikkan harga dan tak ada yang beli, saya bisa bangkrut,” tegasnya.
Hyundai juga berencana mengurangi ketergantungannya terhadap impor, dari 60 persen menjadi 30 persen dalam beberapa tahun mendatang.