Menurutnya, fatwa yang dikeluarkan BPBD hanya menjelaskan bahwa tanah relokasi adalah tanah bencana, namun tidak menyatakan bahwa bencana tersebut benar-benar terjadi.
Hal ini dinilai tidak sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya.
Dedi juga menyoroti, masalah ini terkait dengan administrasi yang telah berlangsung sejak tahun 1964, yang kini melibatkan lebih dari 80 Kartu Keluarga (KK) yang telah berkembang menjadi keturunan.
Baca Juga:Soal 34 Ribu Warga Kabupaten Tasikmalaya yang Dicoret dari Kepesertaan, Ini Kata BPJS KesehatanDinsos Kabupaten Tasikmalaya Sebut Pencoretan Peserta BPJS Kesehatan Sudah Sesuai, Banyak Penerima Tak Layak
Menurutnya, BPN seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan mendasar masyarakat dan menghindari kebijakan yang berfokus pada redaksional semata. ”Jangan dipersulit yang sifatnya redaksional,” terangnya.
Ia menambahkan, seharusnya pelayanan ini tidak memberatkan masyarakat yang justru harus bolak-balik mencari dokumen di berbagai instansi.
Selain itu, Dedi menyayangkan, meskipun sudah ada surat yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (DPKPP) Kabupaten Tasikmalaya dan BPBD, redaksi dari BPBD dianggap tidak tepat.
Ia mengungkapkan, seharusnya BPN, bersama instansi terkait, dapat lebih proaktif dan bekerja sama untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan efisien bagi masyarakat.
Dedi juga menekankan, hak dasar warga negara Indonesia, khususnya yang berdomisili di Picung dan Antralina, seharusnya segera dipenuhi tanpa harus menunggu lama.
Ia menuturkan, meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, kenyataannya masih banyak warga yang belum terlindungi hak-haknya, terutama dalam hal redistribusi tanah.
Dedi berharap agar pemerintah daerah, BPN, dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Tasikmalaya dapat lebih responsif dan merasa malu jika hak-hak warga negara masih terabaikan. (Radika Robi Ramdani)