RADARTASIK.ID – Sutradara ternama, Joko Anwar kembali dengan gebrakan baru dengan merilis karya film terbarunya berjudul Pengepungan di Bukit Duri.
Tidak seperti film lokal kebanyakan, film ini memiliki misi yang lebih dari sekedar hiburan.
Mengambil latar tahun 2027, Pengepungan di Bukit Duri menghadirkan gambaran fiksi distopia Indonesia di masa depan.
Baca Juga:Bobon Santoso Jelaskan Detail Hal yang Dipatenkan dalam Hak Cipta Konten Masak BesarHappy Salma hingga Iko Uwais Tampilkan Budaya Indonesia di World Expo 2025 Jepang
Isu-isu seperti kekerasan remaja, krisis pendidikan, dan trauma sosial menjadi benang merah yang ditekankan secara kuat.
Bukannya menyajikan penyelesaian manis, film ini justru menyuguhkan kenyataan pahit yang mendorong penontonnya untuk merenung dan sadar bahwa hal serupa bisa saja terjadi di kehidupan nyata.
Sinopsis Pengepungan di Bukit Duri
Berlatar wilayah fiktif bernama Bukit Duri, tepatnya di SMA Duri, di mana kekerasan bukan lagi hal asing, melainkan bagian dari keseharian.
Cerita berfokus pada tiga karakter utama yaitu
– Edwin (Morgan Oey): Guru yang dibayangi trauma masa lalu.
– Jefri (Omara N Esteghlal): Remaja frustrasi yang terjebak sistem.
– Guru Diana (Hana Malasan): Pendidik yang bertahan di tengah runtuhnya sistem pendidikan.
Melalui karakter-karakter ini, Joko Anwar membongkar bagaimana ketidakadilan struktural dan pengabaian terhadap trauma menciptakan lingkaran kekerasan tanpa akhir.
Mengapa Pengepungan di Bukit Duri Layak Ditonton?
1. Sinematografi yang Solid dan Cukup Niat
Secara visual, film terbaru Joko Anwar ini tampil mencolok dengan sinematografi kelam dan tata suara yang memperkuat ketegangan.
Kamera yang bergerak tidak stabil menambah kesan panik dan realisme psikologis, seolah penonton ikut terseret dalam kekacauan.
Baca Juga:Penyanyi Pop Dunia, Katy Perry Terbang ke Luar Angkasa Bersama Kru Perempuan LainnyaDrama Korea Terbaru The Divorce Insurance, Ini Cast Pemeran dan Sinopsisnya
Adegan laga disuguhkan secara realistis dan tidak berlebihan, menjadikannya elemen pendukung narasi, bukan semata sensasi.
Atmosfer suram dan pencahayaan rendah memperkuat nuansa distopia yang menjadi ciri khas film ini.
2. Mengusung Genre Aksi Thriller
Alih-alih memilih pendekatan dokumenter atau dramatisasi konvensional, film ini mengangkat isu sosial dengan balutan genre thriller-action.
Strategi ini menjadikan film lebih mudah diakses oleh berbagai kalangan tanpa kehilangan kedalaman pesannya.
Joko Anwar dengan cermat menyelipkan kritik sosial ke dalam alur cerita yang intens dan emosional.
Ini bukan film untuk sekadar ditonton, tapi untuk direnungkan. Itulah kalimat yang ditekankan Joko Anwar selaku sutradara.