“Idealnya ya nambah satu lagi. Satu traktor mah gak cukup,” ujarnya.
Kondisi diperparah dengan alih fungsi lahan yang semakin masif di wilayah Kersanagara. Banyak sawah sudah berubah jadi perumahan karena dijual warga kepada para developer.
“Perum teh ada berapa? Banyak. Dari jalan baru sampai ke sini. Lahan-lahan sawah dibangun perumahan. Mungkin karena uang, ya. Tapi nanti anak cucu kita nanam di mana?” katanya lirih.
Baca Juga:Jenazah Warga Kota Tasikmalaya yang Tenggelam di Perairan Ketapang Akhirnya DimakamkanVandalisme "Radar Jangan Bungkam" Hiasi Pemandangan di Seberang Kantor Radar Tasikmalaya Grup
Musim kemarau yang berkepanjangan beberapa bulan lalu menjadi pukulan telak. Tiga musim berturut-turut, sawahnya tidak bisa ditanami padi karena tak ada air.
“Sawahnya kosong. Saya nanam talas sementara,” ucap H. Amat, menunjukkan bagaimana petani harus beradaptasi secara darurat dengan kondisi alam yang tak bersahabat.
Soal harga gabah, menurutnya, tidak pernah adil bagi petani. Sebab pada masa panen raya harga gabah biasanya malah anjlok. Harga akan kembali naik pada musim paceklik. Padahal saat itu petani tak punya gabah untuk dijual.
“Musim paceklik, gabah mahal. Tapi kalau sudah musim panen, murah. Itu sudah biasa,” katanya dengan pasrah. (Ayu Sabrina)