TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Para praktisi hukum, akademisi dari kampus hukum, serta Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di wilayah Kota Tasikmalaya dan sekitarnya menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Urgensi & Antisipasi RKUHAP Baru’ di Cordela Suites Kota Tasikmalaya, Sabtu (22/2/2025).
Diskusi ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam rancangan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2023 yang tengah dibahas oleh DPR.
Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG), Dr H N Suryana, SH, MH, menjelaskan bahwa perubahan regulasi merupakan suatu keharusan untuk menyesuaikan hukum dengan perkembangan masyarakat serta kebutuhan kepastian hukum.
Baca Juga:Pasar Kripto Turun! Bitcoin dan Ethereum Terus Melemah, Ini PenyebabnyaRekam Jejak Lazarus Group: Kelompok Peretas Misterius dari Korea Utara
Menurutnya, RUU KUHAP 2023 yang diinisiasi oleh Badan Legislasi DPR membawa perubahan besar dibandingkan KUHAP 1981.
“Salah satu perubahan signifikan adalah pergeseran filosofi hukum yang lebih menekankan keadilan progresif dibanding kepastian hukum formal. Selain itu, penggantian lembaga praperadilan dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) juga menjadi poin penting,” ungkapnya dalam diskusi.
HPP dalam RUU KUHAP 2023 memiliki kewenangan luas dalam menentukan kelayakan suatu kasus untuk disidangkan.
Selain itu, sistem penuntutan juga mengalami perubahan, di mana penyidikan menjadi bagian dari proses penuntutan. Hal ini menjadikan kejaksaan memiliki peran dominan dalam peradilan pidana dengan kewenangan yang bersifat final dan mengikat.
Namun, RUU ini juga menuai sejumlah kritik. Beberapa di antaranya adalah waktu penyelesaian pemeriksaan HPP yang dianggap terlalu singkat (hanya dua hari), wewenang HPP yang dinilai berlebihan dalam menilai proses penyidikan dan penuntutan, serta keterbatasan sumber daya hakim yang dapat memengaruhi efektivitas pelaksanaan aturan baru tersebut. RUU KUHAP 2023 juga memperkenalkan alat bukti baru seperti bukti elektronik dan pengamatan hakim.
Meski demikian, pengamatan hakim dinilai rawan disalahgunakan karena belum memiliki regulasi yang jelas.
Perubahan besar lainnya adalah pengambilalihan kewenangan penyidikan oleh kejaksaan yang sebelumnya menjadi tugas kepolisian.
Baca Juga:Harga Bitcoin dan Ethereum Anjlok! Diduga Akibat Peretasan Bybit oleh Hacker LazarusPrediksi dan Analisa Kripto XRP Usai Turun ke Rp 42 Ribuan di Tengah Volatilitas, Akankah Kembali Naik?
Suryana menilai hal ini berpotensi menimbulkan sejumlah tantangan, di antaranya kesiapan kejaksaan dalam menjalankan fungsi penyidikan, keterbatasan sumber daya serta anggaran untuk restrukturisasi kelembagaan, serta potensi buruknya koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan yang dapat berdampak pada perlindungan hak tersangka dan terdakwa.