TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mesti makin gencar disosialisasikan kepada publik, termasuk kalangan aparat penegak hukum yang berhadapan langsung dengan kasus-kasus kekerasan seksual.
Sosialisasi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sangat penting dilakukan demi membangun kesadaran semua pihak untuk bergerak bersama melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual.
Sejauh ini, sosialisasi dari UU TPKS sudah dilakukan tetapi masih sangat terbatas.
Baca Juga:Presiden Prabowo Wajibkan Penempatan Devisa Hasil Ekspor SDA 100 Persen dalam Sistem Keuangan Dalam NegeriPD DMI Kabupaten Tasikmalaya Serukan Pembuatan Video Testimoni untuk Menuntut Keadilan Pilkada
Hal ini disampaikan oleh Direktur Taman Jingga, Ipa Zumrotul Falihah, dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Tasikmalaya, Rina Marlina, dalam diskusi publik bertajuk “Membongkar Tabu Kekerasan Seksual dan Menyoal Sistem Perlindungan Hukum bagi Korban” pada Selasa 18 Februari 2025 di Langgam Coffee and Book.
“Penting memahami UU TPKS, bahkan untuk penegak hukum. Ada kasus yang sayangnya, sudah ada regulasi tersebut, justru menggunakan KUHAP. Padahal jelas berbeda penanganannya,” kata Ipa membuka diskusi.
Menurut aktivis perempuan dan anak itu, memahami regulasi dalam UU TPKS bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga langkah fundamental dalam memastikan perlindungan bagi korban serta menegakkan keadilan.
Tanpa pemahaman yang mendalam, regulasi hanya akan menjadi teks tanpa makna, sementara korban tetap terjebak dalam lingkaran ketidakadilan.
“Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, terutama aparat penegak hukum, pendamping, dan masyarakat luas, untuk memahami dan menerapkan UU TPKS dengan perspektif yang berpihak pada korban demi menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual,” lanjutnya.
Kurang pahamnya masyarakat terhadap undang-undang tersebut terkadang membuat upaya pendampingan pada korban menjadi terhambat.
Ipa punya pengalaman ditolak saat akan mengadvokasi peristiwa kekerasan seksual oleh keluarga dan warga sekitar.
Baca Juga:DMI Kabupaten Tasikmalaya Ajak Doa Bersama Jelang Putusan MK di Pilkada 2024!Apa Itu Vasektomi? Prosedur, Manfaat, dan Risiko yang Wajib Anda Pahami
“Iya dianggapnya membuka aib. Padahal soal kekerasan seksual tidak bisa kompromi. Ketika pelakunya adalah orang terdekat atau bahkan keluarga kemudian meminta untuk mencabut laporan, itu tidak bisa,” tandasnya.
Sementara itu, Rina menyampaikan peristiwa soal anak laki-laki yang disodomi. Menurutnya, kasus seperti itu merupakan masalah kompleks.
“Pertama, memang ternyata pelaku dari kekerasan seksual itu, mereka dulu pernah disodomi juga. Sehingga itu berdampak pada psikisnya. Ia sudah 10 kali baru ketahuan, orang yang melakukannya adalah orang terdekat, teman bapaknya,” katanya.