HOUSTON, RADARTASIK.ID – Perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat, Chevron, mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan berdampak pada 15% hingga 20% tenaga kerjanya secara global hingga akhir tahun 2026.
Kebijakan PHK massal pegawai Chevron ini diambil sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk mengurangi biaya operasional, menyederhanakan struktur bisnis, serta mendukung proses akuisisi besar yang sedang berlangsung.
Diberitakan Reuters baru-baru ini, sebagai produsen minyak terbesar kedua di Amerika Serikat, Chevron menghadapi sejumlah tantangan dalam operasinya.
Baca Juga:Telkom Bantu Bisnis UKM Tembus Pasar Lebih Luas dengan Memanfaatkan Teknologi DigitalBintang Real Madrid Jude Bellingham Terancam Skorsing 12 Pertandingan Usai Kartu Merah Kontroversial
Salah satu kendala utama adalah pembengkakan biaya dan keterlambatan dalam proyek ladang minyak besar di Kazakhstan.
Selain itu, upaya perusahaan untuk mengakuisisi Hess, sebuah produsen minyak senilai 53 miliar dolar AS yang akan memberikan akses strategis ke ladang minyak Guyana yang menguntungkan, masih mengalami hambatan.
Perselisihan hukum dengan Exxon Mobil, pesaing utama yang telah mencatatkan pertumbuhan produksi signifikan, menjadi faktor utama yang menghambat kesepakatan ini.
Exxon bahkan mencetak rekor produksi di Guyana dan memiliki ladang minyak terbesar di Amerika Serikat.
Chevron menargetkan pemangkasan biaya hingga 3 miliar dolar AS dalam kurun waktu tiga tahun ke depan.
Strategi ini akan dilakukan melalui pemanfaatan teknologi, penjualan aset, serta restrukturisasi metode dan lokasi kerja.
Pada akhir tahun 2023, perusahaan swasta ternama ini tercatat memiliki 40.212 karyawan di berbagai unit operasionalnya.
Baca Juga:Arsenal dan Chelsea Berebut Bintang Muda Spanyol, Siapa yang Akan Menang?Dijuluki LeBron James of Soccer, Christian Pulisic Ceritakan Hubungannya dengan Ibrahimovic dan Taktik Conceic
Jika PHK mencapai angka maksimal 20%, maka sekitar 8.000 pekerja diperkirakan akan kehilangan pekerjaan mereka.
Angka ini belum mencakup sekitar 5.400 karyawan yang bekerja di stasiun layanan Chevron.
Selain tantangan di sektor produksi, bisnis pengolahan minyak Chevron juga menghadapi kesulitan.
Margin keuntungan yang lemah dalam produksi bensin dan diesel menyebabkan kerugian pada divisi kilang untuk pertama kalinya sejak tahun 2020.
Kondisi ini semakin meningkatkan tekanan terhadap CEO Chevron, Mike Wirth.
Akibatnya, harga saham perusahaan turun 1,3% dalam perdagangan siang, sementara indeks sektor energi S&P 500 mengalami penurunan sebesar 2,4%.
Meskipun demikian, secara keseluruhan saham Chevron masih mengalami kenaikan sebesar 5,6% sepanjang tahun ini.
Sebagai bagian dari restrukturisasi, Chevron berencana menyederhanakan struktur organisasi guna meningkatkan efektivitas eksekusi dan daya saing perusahaan dalam jangka panjang.