TASIKMALAYA, RADARTASIK,ID – Akademisi hukum Tasikmalaya angkat bicara soal proses hukum kasus pembacokan di Jalan SL Tobing Kota Tasikmalaya. Pasalnya, persoalan ini diduga terus digiring ke ruang politik sehingga terjadi distorsi informasi.
Hal ini memunculkan kontroversi di mana opini salah tangkap terus dibangun. Termasuk oleh anggota DPR RI sekaligus politisi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka yang menyuarakan adanya proses hukum yang bermasalah.
Praktisi hukum sekaligus akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Dr H Nana Suryana SH SSos MH menilai kontroversi kasus pembacokan tersebut sudah semakin ngawur. Maka dari itu dirinya merasa perlu angkat bicara dari kacamata hukum. “Ada tanggung jawab moral saya sebagai akademisi dan praktisi hukum,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa (4/2/2005).
Baca Juga:Gagalkan Aksi Begal, Ibu Hamil di Tasikmalaya Duel dengan Residivis CuranmorMini Soccer! Bakal Ada Lapangan Sepak Bola Baru di Dadaha Kota Tasikmalaya, Desain dan Lahan Sudah Ada
Dirinya menyoroti apa yang disuarakan Rieke Diah Pitaloka karena cenderung belum mendapatkan informasi secara utuh. Di mana politisi PDI Perjuangan itu hanya mendapat informasi sepihak dari keluarga dan kuasa hukum pelaku. “Harusnya datang ke Tasikmalaya, supaya bisa mendapat informasi utuh, lengkap, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” katanya.
Ada beberapa pernyataan Rieke yang menurutnya perlu diluruskan sesuai kacamata hukum. Pertama yakni menyamakan kasus pembacokan di Tasikmalaya dengan kasus Vina di Cirebon yang tidak relevan. “Dia lupa bahwa dalam kasus vina cirebon itu korban sudah meninggal dunia, sedangkan kasus di Tasikmalaya korbannya masih hidup sehingga dia bisa mengenal siapa pelaku pengeroyokan,” ujarnya.
Kedua yakni soal analisa Rieke putusan hakim yang telah keliru dalam menjatuhkan vonis kepada para terdakwa. Secara hukum menurutnya hal tersebut dinilai berlebihan, terlebih anggota DPR RI tersebut tidak memiliki latar belakang akademik bidang hukum.
“Putusan hakim itu tidak bisa dianalisis, Komisi Yudisial saja dalam rangka melakukan pengawasan terhadap hakim bukan karena putusan tetapi terhadap perilaku,” katanya.
Selanjutnya yakni soal sebutan salah tangkap yang secara langsung menjustifikasi. Padahal proses penyidikan sampai jatuhnya vonis dari majelis hakim menunjukan bahwa prosesnya sudah dilengkapi setidaknya 2 alat bukti. “Sehingga ketika ada statement bahwa itu salah tangkap, Itu bisa membingungkan kepada masyarakat,” jelasnya.