Upaya menjaga eksistensi tren gaya tersebut membawa konsumen pada babak fast fashion dalam industri pakaian.
Demi menjaga dan meningkatkan permintaan pasar agar sesuai dengan tren yang berkembang, berbagai merek secara cepat berlomba-lomba berinovasi menghasilkan produk-produk terbaik yang kompetitif.
Tidak membutuhkan waktu hingga tahunan, pembaruan produk dengan teknologi termutakhir dapat terus berganti dengan hanya hitungan bulan.
Baca Juga:Membanggakan! Naysyilla Hamidah, Siswi MANSATAS Jadi Runner-Up Nasional Duta Siswa Indonesia!Tim Futsal MAN 1 Tasikmalaya Juara Turnamen Futsal Antar Pelajar Tingkat Kabupaten Tasikmalaya
Dengan didukung kampanye gaya di media sosial dan peran pemengaruh atau influencer secara massif, sirkulasi fast fashion ini dapat berjalan cepat serta menimbulkan tren baru yang diminati konsumen.
Tren mode yang bertujuan memoles fisik itu ternyata membawa dampak yang tidak sejalan terhadap lingkungan.
Permintaan fast fashion yang demikian masif pun juga berdampak buruk terhadap ketersediaan sumber daya alam.
Tuntutan produksi pakaian yang cepat, sesuai tren, dan murah lantas mendorong produsen untuk menggunakan sumber daya yang tak sedikit.
Waste4Change, perusahaan yang menyediakan solusi pengelolaan sampah-mencatat, dalam memproduksi satu produk fast fashion saja seperti celana jins, diketahui bisa menghabiskan air hingga 2.000 galon air, yang setara dengan kebutuhan air minum manusia selama tujuh tahun.
Dari data YouGov, sekitar 66% masyarakat membuang paling tidak satu pakaian per tahun, dan 25% membuang lebih dari 10 pakaian per tahun.
Bisa dikatakan konsumsi produk pakaian sebagai bentuk gaya sudah mencapai titik overconsumption atau konsumsi berlebih.(Ayu Sabrina)