TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Kasus AR, Pimpinan Rumah Tahfidz Daarul Islam yang tersandung kasus dugaan rudapaksa terhadap santriwati seolah membuka topeng kepalsuan. Bagaimana tidak, aktivis keagamaan itu selama ini mencitrakan dirinya sebagai sosok yang agamis garis keras.
Pasca kasus ini, AR mendapat kecaman dari berbagai pihak atas perbuatan yang dilakukan. Atensi terhadap proses hukumnya pun cenderung lebih kencang ketimbang kasus asusila lainnya.
Budayawan Tasikmalaya Tatang Pahat menilai bahwa kecaman publik kepada AR sangat wajar. Pasalnya, publik seolah ditipu mentah-mentah oleh AR yang selalu mencitrakan dirinya sebagai figur yang agamis.
Baca Juga:Komitmen Jaga Harkamtibmas, AKBP M Faruk Rozi Siap Tangani Geng Motor di Kota TasikmalayaSuara Frontal AR Membawa Agama Terbungkam Kasus Rudapaksa, Ini Rekam Jejak Pimpinan Rumah Tahfidz Daarul Ilmi
“Kasusnya beda dengan pemuka agama yang khilaf melakukan tindakan asusila, kalau AR ini kelihatannya memang orang biasa yang sengaja memakai topeng agama untuk kepentingan jahatnya,” ungkapnya kepada Radar, Rabu (15/1/2025).
Realitanya, lembaga Rumah Tahfidz Daarul Ilmi yang dipimpin AR statusnya ilegal. Bahkan tersangka pun bisa dibilang bukan pemuka agama yang melakukan dakwah di masjid-masjid. “Indikasinya lembaga itu dibuat sebatas untuk melakukan penggalangan dana, dengan label anak yatim dan santri tahfidz,” ucapnya.
Ditambah lagi dengan cerita warga soal santri di rumah tahfidz tersebut sampai mencuri dan mengais sisa makanan karena kelaparan. Artinya dana yang dia galang digunakan untuk kepentingan lain. “Bisa jadi itu untuk kepentingan pribadi, kalau ceritanya anak-anak asuhnya sampai kelaparan,” tuturnya.
Hal itu sangat bertolak belakang dengan gerakannya yang seakan manusia suci dengan ikut melakukan sweeping peredaran miras, razia hotel dan tempat kos. Padahal, nyatanya AR melakukan hal itu hanya untuk menguatkan topengnya. “Artinya dia menggunakan citra agamis sebagai topeng, wajar jika Ketua RW saja menyebut aksinya sebatas dagelan,” katanya.
Kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran untuk masyarakat termasuk aparat di Kota Tasikmalaya. Supaya tidak mudah dikelabui oleh orang-orang yang mengatasnamakan agama. “Jangan mudah tertipu oleh orang-orang bertopeng agama, tapi punya kepentingan jahat,” katanya.
Begitu juga untuk para pengurus organisasi agar bisa selektif dalam menghimpun orang untuk dijadikan anggota. Karena ketika kejadian seperti ini, tentunya nama organisasi pun bisa ikut terseret. “Soalnya kan tersangka ini sangat aktif bahkan paling frontal di beberapa organisasi,” terangnya.