Ia juga mempertanyakan peran Dinas LH yang semestinya aktif menangani pencemaran lingkungan. Sebab penaburan probiotik bukanlah satu-satunya solusi yang bisa dilakukan, mencari akar permasalahan dan mengatasinya, adalah kunci sebenarnya.
“Di DLH itu ada Kabid Penegakkan Hukum yang memiliki tupoksi pengawasan secara kuat terhadap pelaku-pelaku yang melakukan pencemaran terhadap sungai. Kalau misalnya itu disinyalir dari aktivitas TPA maupun ada pabrik plastik, maka itu patut diduga, dan siapa yang bertanggungjawab itu, ya tentunya pemerintah. Yaitu gakum (penegakkan hukum) yang berada di bawah naungan DLH,” ujarnya.
Kesesuaian fungsi, menurutnya juga harus sesuai, pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Jika dalam dokumen RTRW itu, aktivitas industri pabrik bukan peruntukkan, maka menjadi salah satu pelanggaran.
Baca Juga:7 Aplikasi Berbasis AI yang Cocok untuk Edit Video dengan Cepat dan MudahUBK Tasikmalaya Edukasi Remaja tentang Pencegahan Kanker Serviks
“Itu jadi temuan tambahan. Untuk memastikan sanksi yang kemudian akan diberikan pemerintah kepada perusahaan itu,” imbuhnya.
Begitupun dengan TPA juga harus ada dokumennya. Dilengkapi oleh dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan), RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan). Jika tidak ada, kata Iwang, bisa menjadi fakta sembarangan dalam melakukan aktivitas, yang kemudian menyebabkan pencemaran terhadap sungai dan sumur warga. (Ayu Sabrina)