TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Masyarakat yang ditawari politik uang di Pilkada Kita Tasikmalaya seyogianya berpikir rasional. Pasalnya jika sampai dilaporkan dan diproses, ancamannya tidak akan sebanding dengan uang yang didapat.
Ketua Bawaslu Kota Tasikmalaya Zaki Pratama Saori mengingatkan agar masyarakat paham soal konsekuensi money politic. Karena objek hukumnya bukan hanya peserta Pilkada saja, namun siapa pun bisa terjerat. “Baik itu pemberi dan penerimanya juga kena,” ucapnya dalam silaturahmi dan kolaborasi Bawaslu dengan Media untuk pengawasan dan pencegahan pelanggaran Pilkada di Hotel Harmoni, Senin (25/11/2024).
Politik uang diatur dalam Pasal 187 ayat 1 dan 2 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Di mana yang terlibat terancam dengan hukuman penjara 36 bulan sampai 72 bulan dan denda Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. “Klausulnya itu dan, bukan atau, jadi ya dipenjara juga kena denda,” ucapnya.
Baca Juga:Alhamdulillah, 3 Pendaki Asal Tasikmalaya yang Hilang Sudah Ditemukan Dalam Kondisi SelamatMelihat Pengalaman di Alam, Pj Wali Kota Tasikmalaya Optimis 3 Pendaki Hilang Bisa Ditemukan Selamat
Lanjut Zaki, jangan sampai rakyat kecil mempertaruhkan risiko hukum tersebut. Karena konsekuensinya akan sangat merugikan baik untuk demokrasi, juga bagi personal. “Jangan sampai karena menerima uang yang tidak seberapa, tapi dihukum dan kena denda ratusan juga,” tandasnya
Sejurus dengan itu Bawaslu Kota Tasikmalaya sudah memetakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang memiliki kerawanan. Sejauh ini dari 985 TPS yang ada, tercatat ada 400 TPS yang punya kerawanan terjadinya politik uang.
Hal itu diungkapkan Anggota Bawaslu Kota Tasikmalaya yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hasil pemetaan kerawanan. Di mana 400 TPS dinilai rawan terjadi politik uang karena adanya tokoh yang tinggal di lingkungan tersebut.
“Misal ada pengusaha berpengaruh yang jadi simpatisan, tim sukses termasuk di TPS tempat kandidat memilih,” ucapnya.
Kendati demikian, urusan politik uang ini memang cukup kompleks. Pasalnya rata-rata hanya berupa informasi, sedangkan secara pembuktian dan kesaksian relatif sangat sulit. “Misal ketika kita temui dengan seragam lengkap, warganya malah bungkam,” terangnya.
Dalam hal pengawasan, diakuinya memang lebih efektif jika dilakukan secara senyap ibarat intel. Namun secara prosedur, hal itu tidak sesuai dengan regulasi mengenai teknis pengawasan. “Jadinya dilematis juga,” katanya.