TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Pada debat pertama Pilkada Kota Tasikmalaya, panggung seolah hanya menjadi ajang penyampaian visi misi dari para pasangan calon. Pasalnya perdebatan antar kandidat sangat minim sehingga agenda tersebut seolah berjalan kurang berkualitas.
KPU Kota Tasikmalaya akan melaksanakan debat kedua Pilkada di Hotel Santika, Jumat (14/11/2024). Diharapkan para kandidat atau pasangan calon punya keberanian dan kemampuan untuk berdebat adu gagasan untuk Kota Tasikmalaya ke depan.
Akademisi sekaligus rektor Institut Agama Islam (IAI) Tasikmalaya Dr Abdul Harus MPd menilai pada debat pertama, para kandidat tidak begitu menguasai materi. Ditambah pertanyaan panelis menurutnya terlalu berat dibanding kemampuan kandidat. “Kalau kita lihat, sepertinya pertanyaannya terlalu berat bagi kandidat,” ungkapnya kepada Radar, Selasa (13/11/2024).
Baca Juga:Kota Tasikmalaya Sudah 3 Kali Kecolongan Pabrik Obat Ilegal, Nanti Kecolongan lagi?Surat Suara Pilkada Kota Tasikmalaya Dihitung Ulang PPK Cihideung
Ditambah sepanjang debat para kandidat atau pasangan calon lebih banyak membaca catatan. Sehingga penguasaan materi baik visi-misi atau pun menjawab pertanyaan panelis. “Menunjukkan kandidat kurang menguasai materinya, supaya tidak terus-terusan membaca (contekan),” ucapnya.
Di samping itu, banyaknya jumlah kandidat membuat penyelenggaraan debat cukup diburu waktu. Sehingga ruang bicara mereka sangat terbatas, meskipun yang terlihat banyak waktu yang terbuang percuma. “Karena sama sekali tidak ada perdebatan,” tuturnya.
Pihaknya berharap di debat kedua nanti ada evaluasi baik dari sisi penyelenggaraan maupun peserta. Sehingga kualitas kandidat bisa semakin terlihat dari perang gagasan dan argumen saat debat. “Mudah-mudahan di debat kedua lebih gereget,” tuturnya.
Terpisah, Akademisi dan Pengamat Politik Tasikmalaya Dr Asep M Tamam MPdi menilai bahwa bahwa banyak faktor yang membuat debat Pilkada pertama seolah asal terlaksana. “Karena pandangan calon, agenda debat tidak begitu berpengaruh pada pilihan publik,” ucapnya.
Maka dari itu, dia menilai para kandidat tidak begitu serius dalam mengikuti debat. Bahkan cenderung bingung karena kompetitor cukup banyak untuk adu argumen. “Beda dengan debat pilpres dan Pilgub DKI yang selalu menjadi sorotan, kalau di daerah sepertinya masih minim pengaruhnya,” terangnya.
Selain itu, panelis yang menyusun pertanyaan juga didominasi oleh akademisi dari luar daerah. Sehinggapertanyaannya cenderung kuantitatif masalah data dan angka. “Jadi pertanyaannya kuantitatif, bukan kualitatif,” ujarnya.