Kisah Perjalanan Pahit Karier Legenda Inter Adriano: Saya Menangis di Bahu Moratti

Adriano
Adriano, legenda Inter. (Adriano/Instagram)
0 Komentar

Sementara itu, media Italia menjadi heboh, bahkan kepolisian Rio sempat mengadakan operasi penyelamatan karena mengira Adriano diculik.

Namun, menurutnya, tak mungkin ia akan dicelakai di lingkungan yang baginya penuh solidaritas.

Adriano menyatakan bahwa ia kembali ke favela bukan untuk alasan seperti alkohol, wanita, atau narkoba.

Baca Juga:Federico Chiesa Berpotensi Kembali ke Serie A, Gabung AC Milan atau AS RomaDiskusi dengan Keluarga Friedkin, Claudio Ranieri Pertimbangkan Kembali ke AS Roma untuk Ketiga Kalinya

Bagi dirinya, favela adalah tempat kebebasan, tempat ia merasa bisa menjadi manusia biasa.

Ia merasakan kedamaian yang tak dapat ditemukan di panggung sepak bola Eropa.

Meski telah berusaha menyesuaikan diri dengan ekspektasi manajemen Inter dan berusaha keras menghindari kebiasaan minum alkohol, ia terus mengalami kemunduran.

Berbagai pihak, termasuk pelatih seperti Roberto Mancini dan Jose Mourinho, bahkan pemilik Milan, Massimo Moratti, telah berusaha membantu.

”Saya menangis di bahu Moratti. Tapi saya tidak bisa melakukan apa yang mereka minta,” terang Adriano.

”Saya bertahan baik selama beberapa minggu, menghindari alkohol, berlatih keras, tetapi selalu ada kambuh. Berulang-ulang. Semua orang mengkritik saya. Saya sudah tidak tahan lagi,” lanjutnya.

Pada akhirnya, Adriano menerima bahwa pilihannya mungkin tak bisa diterima semua orang.

Baca Juga:Matteo Gabbia Ceritakan Ketidakpuasan AC Milan di Serie A dan Pasang Surut Rafael LeaoEra Baru Sepak Bola, Presiden Inter Beri Pesan Khusus kepada Inzaghi, Ketenangan Nils Liedholm Bisa Ditiru

Ia merasa dihormati di Favela meski dianggap sebagai ”pemborosan terbesar sepak bola.”

Bagi Adriano, ”pemborosan” bukan sekadar kata, tetapi sebuah realitas yang diterimanya dengan damai.

Hidupnya mungkin tidak sesuai dengan impian yang dahulu ditorehkan, namun di balik itu semua, ia merasa nyaman menjalani kehidupan yang dianggap banyak orang sebagai ”pemborosan yang gelisah.”

Kini, Adriano tidak merasa perlu memberikan penjelasan kepada orang lain.

Ia mengakui bahwa minum alkohol adalah salah satu caranya berdamai dengan kenyataan sebagai ”janji yang belum terwujud”.

Menjalani usia yang semakin bertambah, Adriano menganggap hidupnya di favela adalah pilihan yang membawanya pada penerimaan diri, terlepas dari stigma yang melekat sebagai legenda sepak bola yang terjatuh. (Sandy AW)

0 Komentar