“Jika merujuk kepada UU 32 tahun 2009, jika secara terang-terangan pelaku kegiatan melakukan pencemaran maka dapat dijerat dengan sanksi penutupan, sanksi administrasi sampai sanksi pidana,” imbuhnya.
Pria yang akrab disapa Iwang itu, juga mengkritik penyampaian DLH Kota Tasikmalaya yang mengatakan pencemaran lingkungan diakibatkan kondisi IPAL yang mengalami penurunan fungsi.
“Harusnya tidak keluar bahasa seperti itu dari DLH. IPAL wajib sifatnya dirawat serta dikelola dengan baik oleh perusahaan maupun pemerintah. Jika kegiatannya langsung di bawah kewenangan pemerintah, artinya bisa dikatakan bahwa pemerintah tidak dengan baik merawat serta mengelola IPAL. Sehingga dampaknya telah mencemari air yang selama ini digunakan warga sekitar. Selain itu tidak memungkinkan bahwa pemerintah tidak melakukan pengawasan juga terhadap perusahaan apakah IPAL nya berfungsi atau tidak,” jelasnya.
Baca Juga:Muslim Serap Aspirasi Warga Kelurahan Setiawargi yang Ingin Wilayahnya Kembali Jadi Desa Agar Dapat Dana DesaLima Siswa Terbang ke Hongkong Usai Menangkan Kompetisi Seni Keluarga Faber-Castell 2023/2024
Begitupun ketegasan Pemerintah Kota Tasikmalaya, kata Iwang, sangat diperlukan dalam kasus ini jika terbukti penyebabnya adalah limbah dari pabrik.
Salah satunya dapat menutup sementara kegiatan industri, dengan cara memberikan sanksi teguran serta rekomendasi tegas agar kegiatan pencemarannya dapat segera dihentikan.
“Jika tidak sampai ditaati dengan baik oleh perusahaan, maka pemerintah dapat melakukan penutupan permanen terhadap perusahaan yang melakukan pencemaran. Lebih jauh dari itu dapat diberikan sanksi pidana jika terbukti dengan sengaja, perusahaan secara terang-terangan melakukan pencemaran. Hal yang sama warga dapat menutup kegiatannya serta meminta untuk melakukan pemulihan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut,” pungkasnya. (Ayu Sabrina)