Puluhan ribu santri dari pesantren-pesantren di wilayah Kota Tasikmalaya tumplek blek di satu titik. Biasanya di kawasan lapangan Dadaha.
Lalu puluhan ribu santri serta para ajengan dan kiai, berkeliling kota. Santri berbaju koko atau jubah putih, mengenakan sarung dan kopiah atau peci.
Santri perempuan atau santriwati berbusana muslimah. Bergamis berpadu hijab putih atau hitam yang lebar.
Baca Juga:Populer dan Peduli Sosial, bank bjb Buktikan Diri di Indonesia Best Financial Awards 2024Bagaimana Memilih Kualitas dan Harga Kertas HVS Terbaik untuk Kebutuhan Bisnis Anda
Sholawat bergema sepanjang perjalanan dari pesantren hingga kembali ke pesantren. Meriah sekali. Suasana islami membalut kota di Hari Santri itu. Setiap tahun begitu.
Kota Santri sebuah sebutan yang sakral. Membawa pikiran orang yang memasuki kota tersebut untuk hati-hati.
Mereka yang datang ke Kota Santri pasti berupaya menjaga adab dan sopan santun. Mengontrol sikap dan tutur bahasa.
Agar tidak mengusik bahkan dianggap menodai sakralnya makna Kota Santri. Bahaya soalnya.
Sekali senggol urusan bisa panjang. Ujungnya tersandung sampai pidana: penodaan agama.
Sudah berulang kejadian begitu. Di Kota Tasikmalaya khususnya. Simbol-simbol kesantrian yang diusik. Berujung gejolak massa.
Kalau tidak terkendali bisa saja menjadi amukan liar. Merepotkan aparat keamanan. Menakutkan orang-orang yang tidak berlabel santri dan tidak nyantri. Mengancam investasi.
Baca Juga:Fonseca Puas, Tidak Adil Jika AC Milan Tak Menang Lawan UdineseDua Kali Gol Dianulir Lawan AC Milan, Pelatih Udinese: Tidak Ada Gunanya Mengatakan Apa Pun
Tetapi kemudian mereka yang datang, dan ekstra hati-hati menjaga marwah Kota Santri, jadi tercengang-cengang begitu sudah lama berada di Kota Tasikmalaya.
Kota Santri yang dalam ekspektasi mereka adalah kota orang saleh, religius, terdidik, kok tidak berbeda dengan kota tanpa label Kota Santri.
Kenapa banyak minuman keras beredar. Narkoba tinggi tingkat pemakainya, lalu ada ribuan LGBT.
Keamanan warga kota yang rawan gangguan geng motor. Nyawa begitu murah.
Kotanya kotor karena bersampah. Trotoar hak umum dipergunakan untuk jualan. Malah jadi pembuatan kursi di sepanjang Jalan SL Tobing.
Satu hal lagi, korupsi di pemerintahan masih banyak terjadi.
Kenapa, kenapa, kenapa? Pertanyaan itu sulit dijawab.
Saya belum menemukan harus seperti apa sebuah Kota Santri yang ideal.
Kalau melihat arti santri dan nyantri, imajinasi saya Kota Santri adalah kota yang nyaman, aman, tentram, sangat toleran.