Meskipun teknologi komputer telah mempermudah proses produksi bordir, ia berpendapat bahwa bordir manual memiliki keindahan estetika yang tidak bisa ditiru oleh mesin.
Menurutnya, bordir manual menyerupai lukisan dengan sentuhan seni yang tinggi, dan sangat penting untuk terus melestarikan tradisi ini agar tidak hilang.
Pandu juga menjelaskan bahwa proses memunculkan ide kreatif untuk produknya sering kali lebih lama dibandingkan dengan proses pembuatannya.
Baca Juga:SDN 2 Nagarawangi Eksplorasi Kota Tasikmalaya dengan Outing ClassShanon Bramanti, Siswa Tasikmalaya yang Lolos OSN Nasional Biologi
Pengalaman akademisnya di bidang psikologi memberinya wawasan tentang penggunaan warna dan kombinasi yang dapat memberikan motivasi bagi orang lain.
Ia ingin agar setiap produknya bukan hanya tas biasa, tetapi juga karya seni yang menyampaikan pesan.
Pada awalnya, Calla Lily berfokus pada tas berbahan kulit, namun dengan berkembangnya pasar, Pandu mulai bereksperimen dengan bahan kanvas dan material lain yang lebih terjangkau.
Meskipun bahan dan desain beragam, fokus utamanya tetap pada bordir yang menjadi identitas merek tersebut.
Produk Calla Lily dibanderol dengan harga mulai dari Rp 650.000 hingga Rp 2.000.000, dan saat ini sebagian besar pemasarannya dilakukan secara offline.
Meskipun Calla Lily belum aktif memanfaatkan platform media sosial seperti Instagram, minat yang tinggi dari konsumen mendorong Pandu untuk mulai menjajaki penjualan online.
Pandu berharap dengan Calla Lily, ia dapat terus memperkenalkan dan melestarikan seni bordir Kawalu, sekaligus menciptakan produk yang relevan dengan tren masa kini. (Fitriah Widayanti)