TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Tasikmalaya 2024, isu money politic atau politik uang semakin menjadi perhatian publik. Praktik kecurangan yang sering terjadi dalam pesta demokrasi ini dinilai sulit dihindari setiap kali pemilu digelar.
Ketua Satuan Pelajar dan Mahasiswa (Sapma) Kota Tasikmalaya, Muamar Khadapi, mengajak masyarakat untuk lebih kritis dalam menghadapi persoalan ini.
Menurutnya, Pilkada adalah momen penting untuk memilih pemimpin yang akan memegang mandat dan kepercayaan masyarakat selama satu periode ke depan.
Baca Juga:Lembaga Survei Berperan Edukasi, Bukan Menggiring Industri Politik di Kota Tasikmalaya!Pengungkapan TPPU Narkoba Rp 2,1 Triliun: Bandar Kendalikan Jaringan dari Balik Jeruji, Polri Sita Aset Mewah
“Saya mengajak, tolak money politic dalam Pilkada 2024 yang sebentar lagi akan dilaksanakan, karena hal ini akan menjadi kebiasaan buruk yang akan terus turun-temurun bahkan menjadi habit dalam momentum 5 tahunan,” tegasnya kepada Radar, Selasa 24 September 2024.
Muamar menekankan pentingnya peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengawal Pilkada serentak 2024. Ia berharap Bawaslu tidak hanya fokus pada suksesnya penyelenggaraan, tetapi juga aktif memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai bahaya money politic.
“Dalam perspektif saya sebagai mahasiswa, politik uang ini disebabkan oleh ketakutan peserta pemilu jika mengalami kekurangan suara atau kekalahan. Saya ibaratkan seperti ini, peserta pemilu dalam melakukan kampanye pasti mengeluarkan banyak dana dan waktu, seperti kegiatan berinvestasi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa pemilihan yang bersih adalah langkah awal untuk menyongsong kemajuan kota. Menolak politik uang, menurut Muamar, berarti memberikan pendidikan kepada masyarakat agar memilih berdasarkan hati nurani, gagasan, dan program kerja yang jelas.
“Bukan dengan seberapa besar nominal yang diberikan. Hal ini akan menjadi pencapaian yang baik untuk menjadikan masyarakat lebih cerdas dalam menentukan pilihan,” jelasnya.
Muamar optimistis bahwa dengan penolakan terhadap politik uang, masyarakat tidak lagi merasa terpaksa memilih karena telah menerima imbalan. Sebaliknya, mereka akan merasa puas karena telah berpartisipasi secara penuh dan bebas dalam memilih pemimpin.
“Tidak akan ada lagi keterpaksaan karena alasan telah menerima uang, tapi akan ada kepuasan sebagai masyarakat yang berpartisipasi sebagai masyarakat yang memiliki hak dan kemerdekaan yang utuh,” tutupnya. (Firgiawan)