TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Dalam sebuah ruangan serba putih bercorak modern, dilengkapi lukisan-lukisan ikan koi, ada lampu gantung kayu, serta deretan buku bertemakan kenegaraan, ibu dan anak saling tukar pendapat, ihwal kedigdayaan asing di tanah air mereka.
“Made in China”, cap ini yang terus ditemukan pada mainan sang anak.
Ia berkali-kali melontarkan pertanyaan, “Mama kenapa di setiap benda ada kata Made in China? China! China! Kenapa tidak buatan arab? Kan halal” ucapnya.
Baca Juga:Yusro VS Idaman Berebut Restu H Syarif Hidayat, Keduanya Mengaku Punya Hubungan Emosional!Istri H Amir Mahpud Turun Gunung, Bentuk Relawan Perempuan Prima Berkah, Fokus Bantu Program Stunting!
Sang ibu dengan hati-hati menjawab setiap ajuan pertanyaan, yang tampaknya tidak memuaskan sang anak. “Karena mereka (barang Made in China) bagus, murah, dan mudah didapat,” jawab ibu.
Dialog ini terjadi dalam pementasan teater berjudul “Made in China” di Studio Ngaosart, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, pada Kamis 19 September dan Jumat 20 September 2024.
Sekilas, adegan itu mengingatkan penonton soal banyaknya barang buatan “negeri tirai bambu” yang digunakan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sutradara sekaligus pencipta naskah, AB Asmarananda menyatakan “Made in China” punya makna lebih dari itu.
“Sebenarnya ‘Made in China’ punya arti lebih dari itu. Made in China dibuat sudah lama. Pernah jadi teater tubuh di Kalimantan. Di sini jadi teater kata-kata. Saya melihat dinamika yang luar biasa. Produk China menguasai tubuh kita bahkan. Mungkin ketika jantung saya pecah, saya akan pakai jantung china, yang mudah retak, kena mental health. Tapi murah meriah, mudah diperbaiki,” kata AB di hadapan apresiator.
Made in China menyuguhkan sentuhan humor yang kuat dengan dialog absurd antara ibu dan anak. Interaksi mereka penuh dengan percakapan filosofis, kritik sosial, dan komentar lucu yang merespons fenomena sehari-hari, seperti ketergantungan pada produk China dan pertanyaan anak tentang identitas budaya dan globalisasi.
“Ibu berusaha menjawab pertanyaan anaknya dengan bijak, meskipun terkadang jawaban-jawabannya sedikit abstrak atau tidak langsung. Ini menunjukkan gap generasi dalam memahami dan mengajarkan pengetahuan modern dengan cara yang sederhana tapi bermakna,” terang AB.