TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Kasus Mahasiswa Universitas Perjuangan Tasikmalaya yang meninggal dan luka-luka karena tertimpa material tembok bukan sekadar musibah. Hal tersebut bisa menjadi perkara hukum dari mulai perdata sampai dengan pidana.
Kedua korban, baik Rega Haikal Faturrahman maupun M Kasbi Rabbani saat kejadian masih berada di lingkungan kampus. Bahkan dia masih melaksanakan proses kegiatan meskipun hal itu sebatas absen untuk pulang.
Praktisi sekaligus akademisi bidang hukum Eki S Baehaqi mengatakan bahwa musibah tersebut memang bukan karena kesengajaan. Namun bisa juga terjadi karena ada faktor kelalaian sehingga menimbulkan korban luka dan jiwa. “Proses hukum itu kan bisa terjadi karena kesengajaan atau kelalaian,” ungkapnya kepada Radar, Rabu (4/9/2024).
Baca Juga:Ivan Dicksan Sowan ke Rais Syuriah NU, Dapat Doa Untuk Pilkada Kota TasikmalayaPelajar SMK Negeri di Tasikmalaya Meninggal Dunia, Terlibat Kecelakaan Dekat Lanud Wiriadinata
Kelalaian yang dimaksud bisa jadi dari perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaannya. Karena manajemen kampus tentunya memiliki pejabat yang ditugaskan untuk memastikan sarana dan prasarana aman. “Kalau tupoksi itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, ini bisa jadi unsur kelalaian,” ucapnya.
Jika memang terjadi unsur kelalaian, dalam hal ini korban bisa menggugat pihak kampus secara perdata. Karena bagaimana pun keluarga korban sudah dirugikan atas kelalaian tersebut. “Masuk perbuatan melawan hukum dari sisi perdata, kalau pidana harus ada mensrea (niat pelaku),” ucapnya.
Di samping itu, menurutnya kampus pun berkewajiban untuk memberikan jaminan kematian. Karena selain lokasinya di dalam kampus, status korban pun sudah tercatat sebagai mahasiswa. “Tapi jaminan kematian itu biasanya menyesuaikan dengan kemampuan kampus, lebih bagus jika kampus sudah mendaftarkan asuransi jiwa untuk mahasiswa,” tuturnya.
Di samping hukum perdata, hal ini juga bisa berkembang masuk ke ranah pidana. Jika pembangunan gedung tersebut memang bermasalah secara prosedur. “Tinggal diaudit, apakah sudah sesuai prosedur dari mulai perencanaan, pembangunan dan pemeliharaannya,” katanya.
Jika di situ memang ada pelanggaran prosedur, artinya ada indikasi tindak pidana penggelapan. Karena secara umum anggaran tidak sesuai dengan realisasi. “Bisa masuk penggelapan, apalagi kalau dana dari pemerintah jatuhnya tindak pidana korupsi,” pungkasnya.(rangga jatnika)