Akibatnya, tindakan yang diambil hanya berfokus pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), tanpa adanya tindakan preventif dan kuratif untuk mencegah gangguan jiwa pada kelompok yang berisiko dan sehat.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemegang program kesehatan jiwa di puskesmas Kota Tasikmalaya diberikan pemahaman tentang pendekatan empat fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian.
Sebagai contoh, perencanaan yang dilakukan meliputi perencanaan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan yang harus dilaksanakan.
Baca Juga:Asmara Tak Direstui Orang Tua, dr FA dan ISF Sempat Buka Praktek Bersama di Panyingkiran CiamisHari Pertama Pendaftaran Pilkada Ciamis 2024 Masih Nihil
Ridwan Kustiawan juga menambahkan bahwa keperawatan kesehatan jiwa komunitas di Indonesia pertama kali diaplikasikan secara nyata pada tahun 2005 di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Program ini dilakukan berdasarkan kerja sama antara Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI, Forum Komunikasi Keperawatan Jiwa Jakarta, Depkes RI, dan World Health Organization (WHO) untuk menangani dampak psikososial atau gangguan jiwa lainnya pasca bencana tsunami dan gempa bumi pada 26 Desember 2004, dengan membentuk Desa Siaga Sehat Jiwa.
Ridwan juga berharap agar Desa Sehat Jiwa dapat diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia, mengingat bencana, baik alam maupun non-alam, hampir selalu terjadi di negara ini.
Keberadaan Desa Siaga dianggap sebagai gambaran masyarakat yang sadar, mau, dan mampu mencegah serta mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan, termasuk gangguan jiwa, dengan memanfaatkan potensi setempat secara gotong royong menuju Desa Siaga.
Desa Siaga Sehat Jiwa merupakan pengembangan dari pencanangan Desa Siaga yang bertujuan agar masyarakat berperan aktif dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa yang belum terdeteksi dan membantu pemulihan pasien yang telah dirawat di rumah sakit. (Fatkhur Rizqi)