TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Aktivis dari Mata Pemuda Institute (MPI) mencurigai adanya dugaan mala-administrasi dalam proses rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2023 di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tasikmalaya. Dugaan ini dianggap penting untuk diperhatikan menjelang rekrutmen PPPK 2024.
Direktur Mata Pemuda Institute (MPI), Nana Sumarna, mengungkapkan bahwa dugaan mala-administrasi muncul setelah pihaknya mempelajari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 648 Tahun 2023 tentang Mekanisme Seleksi PPPK untuk jabatan fungsional.
Nana menjelaskan bahwa proses pengangkatan PPPK di Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, khususnya di lingkungan Dinas Kesehatan, termasuk di Puskesmas, perlu diperiksa lebih lanjut.
Baca Juga:Dengan Dukungan bank bjb, Masa Depan Gemilang Menanti Lulusan STIE Ekuitasbank bjb Hujani Nasabah Setia dengan Penghargaan Istimewa di Hari Jadi Jabar ke-79
Nana mengindikasikan adanya ketidaksesuaian dalam pengangkatan pegawai yang seharusnya hanya melibatkan mereka yang telah bekerja secara terus menerus di tempat melamar sekurangnya dua tahun, namun ada beberapa kasus yang melibatkan pegawai dengan masa kerja kurang dari dua tahun.
”Dugaan tersebut lebih kepada persoalan maladministrasi,” ungkapnya pria yang populer dipanggil Nana Magadir ini kepada Radartasik.id, Selasa, 20 Agustus 2024.
Data yang dikumpulkan oleh MPI menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa orang yang bekerja kurang dari dua tahun, mereka tetap lolos seleksi PPPK, meskipun aturan dalam keputusan Menpan RB Nomor 648 Tahun 2023 menyebutkan bahwa pelamar harus memiliki pengalaman kerja minimal dua tahun secara terus menerus di instansi pemerintah yang dilamar.
Nana juga mencurigai adanya mala-administrasi terkait dengan surat keterangan yang diduga palsu, yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya.
Dia menyebutkan bahwa ada nama yang dalam surat keterangan kerja dan surat keterangan bekerja secara terus menerus disebut sebagai perawat, padahal dalam SK sebenarnya, orang tersebut adalah tenaga umum yang tidak diwajibkan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).
Menurut Nana, surat keterangan yang menyatakan bahwa orang tersebut seorang perawat dianggap tidak sesuai, apalagi jika yang bersangkutan seharusnya bekerja di Puskesmas atau RSUD yang terkait dengan pelayanan langsung kepada masyarakat.
Lebih lanjut, Nana menambahkan bahwa orang yang memperoleh surat keterangan tersebut sebenarnya bekerja sebagai sopir Kepala Dinas Kesehatan, bukan sebagai perawat.