Kuncinya yakni mengurangi sampah domestik agar tidak sampai dikirim ke TPA Ciangir. Teknisnya, sampah bisa diselesaikan mulai dari lingkungan RT dan RW. “Jangan dipusatkan di TPA, sampah domestik diselesaikan di lingkungan terkecil,” ucapnya.
Di beberapa kota di luar negeri, menurutnya bukan hal mudah untuk menemukan sampah. Pasalnya prilaku warganya sudah terbentuk. “Di jepang kita akan sulit menemukan sampah,” katanya.
Saat ini Pemkot sudah memiliki beberapa program dan gagasan untuk mengurai persoalan sampah. Dari mulai program paranje, budidaya maggot dan lainnya yang menurutnya perlu dilakukan secara konsisten dan serius. “Jadi penyelesaiannya menghasilkan income,” ucapnya.
Baca Juga:Gowes Tasikmalaya-Pangandaran, Pernak-Pernik Merah Putih Melepas 679 Pesepeda Lodaya Siliwangi Ride 2024Pernah Disegel, Kafe Tempat Karaoke Bandel di Tasikmalaya Ditutup Lagi oleh Ulama dan Muspika
Dia pun siap untuk ikut berkontribusi jika masyarakat mau bergerak melaksanakan program usaha yang bisa menjadi penyelesaian masalah sampah. Bukan hanya sumbang ide dan gagasan saja, namun juga siap secara modal. “Siap memberi masukan, dan dana,” katanya.
Mengingat ini momen Pilkada, dia berharap Wali Kota Tasikmalaya punya good will terhadap persoalan ini. Menurutnya Tasik haris bisa membuat tagline Kotaku Surgaku sehingga membuat masyarakat betah. “Jadikan Kota Tasikmalaya ini sebagai rumah besar kita,” terangnya.
Sejurus dengan itu, eks Wakil Wali Kota bandung Ayi Vivandana menilai bahwa sampah merupakan hal yang menarik. Karena jika dimanfaatkan dengan baik akan memberikan keuntungan. “Kalau tidak diolah ya jadi musibah,” tuturnya.
Dia pun sepakat bahwa pengelolaan sampah bukan membutuhkan anggaran yang besar. Tapi membutuhkan perilaku masyarakat yang sadar untuk mengelolanya. “Semakin besar anggaran bisa semakin kotor, warga kota harus bisa menangani sampahnya sendiri,” ucapnya.
Berdasarkan pengalamannya ketika menjabat sebagai pimpinan daerah, dirinya menggagas beberapa program yang salah satunya waze to energy yang membuat sampah jadi pembangkit listrik. Ini merupakan pertama kalinya digagas di bandung kala itu, namun tidak bisa berjalan dengan baik. “Tidak berjalan karena warga menolak, ada juga sebagian yang mendukung,” tuturnya.
Pihaknya pun mengambil alternative kedua yakni kompostik di mana RT dan RW dilatih membuat kompos. Selanjutnya dijadikan media tanam untuk urban farming yang berkelanjutan. “Prosesnya panjang (lama), tapi lambat laun tumbuh kesadaran di warga,” katanya.