Oleh: Asep M Tamam (Wakil Rektor UNIK Cipasung)
PEMILIHAN presiden RI diputuskan berlangsung 1 putaran. Dengan demikian, para politisi di daerah lebih dini fokus kepada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Helatan politik lima tahunan dalam memilih kepala daerah pun mulai menemukan tensinya. Suasana dan suhu politik di setiap daerah pasti berbeda. Tradisi politik di masing-masing tempat mungkin saja tak sama. Seperti halnya suasana, suhu, dan tradisi politik di Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, dan beberapa kota dan kabupaten di sekitarnya. Semuanya memiliki tradisi politik yang berbeda.
Penyelenggaraan Pilkada telah disepakati dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan diselenggarakan secara serentak se-Indonesia. Sebanyak 416 kabupaten, 98 kota, dan 38 provinsi serentak bergerak. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 2 tahun 2024, pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan tanggal 27 November 2024. Ada spare waktu sekitar 5 bulan ke depan, Indonesia akan kembali ‘berhari raya’. Seluruh warga yang memiliki hak suara akan menyalurkan haknya. Seluruh kandidat akan berebut takdir yang merupakan ‘makhluk gaib’. Andai saja sudah diketahui siapa pemenangnya, maka tak akan selelah ini para pecandu politik bermanufer, menebak, memprediksi, menghitung, dan berdebat satu dengan lainnya.
Pilkada yang berlangsung sehari di tanggal 27 Novemberadalah hari formal yang serius. Pemilihan kepala daerah yang menguras pikiran, anggaran, dan emosi masyarakat sejatinya merupakan aktivitas yang berefek positif besar kepada kemajuan daerah; kota, kabupaten, dan provinsi. Jika tidak berefek positif, maka Pilkada hanyalah formalitas belaka. Ia hanyalah rutinitas yang mentradisi, yang begitu-begitu saja, tidak substantif.
Pilkada Substantif
Baca Juga:Pergantian Sekda Kota Tasikmalaya, Ujian Objektivitas dan Idealisme Pj Wali KotaIvan Dicksan Dapat Surat Rekomendasi dari DPP PAN, Tambah Seru Pilkada Kota Tasikmalaya 2024!
Pilkada sebisa mungkin dilaksanakan dengan mengacu kepada kepatuhan para pelaku politik di level partai dan tim di bawahnya terhadap aturan yang disepakati. Pelanggaran, sekecil apa pun, meskipun tidak mendapatkan teguran hingga tindakan dari Bawaslu dan Gakkumdu, tetaplah merupakan pelanggaran. Terutama pelanggaran yang nyata, yang tidak selalu dilaporkan ke Bawaslu dan Gakkumdu, pelanggaran seperti ini jelas mengurangi dan mengotori nilai sakral Pilkada.
Masalahnya, kini, pelanggaran yang dilakukan sering dianggap angin lalu. Pelanggaran sering diposisikan seperti lalat yang hinggap di ujung hidung. Cukup dengan menepiskan tangan ke wajah, lalat akan terbang dan menjauh. Kesalahan dalam berpolitik bahkan dianggap sebagai seni yang menghiasi perjalanan proses politik di negeri ini.