Bukan hanya pilihan, tapi juga keyakinan, seorang ulama atau kiai hadir dalam dunia politik untuk kepentingan memperbaiki keadaan. Sebagai sosok yang mengerti ilmu, terutama ilmu agama, ajaran dan doktrin keagamaan dibawa ke dunia politik. Jika tak memiliki bekal yang cukup, terutama bekal kekuatan idealisme, seorang ulama akan terkaget-kaget dengan realitas yang menghampar, yang tidak semuanya tersambung dengan kejernihan hati nurani. Ada realitas di mana mereka tak bisa menolak. Ada sistem yang menantang mereka, apakah akan tunduk atau melawan.
Catatan terpenting tentang para ulama yang berpolitik adalah proses awal mereka berpolitik. Proses ini sangat menentukan. Para ulama sudah khatam tentang konsep “niyyah, ghâyah, dan kaifiyyah”. Tentang niat, lalu tujuan, juga cara. Tentu saja para ulama yang berpolitik harus menjaga ketiga hal itu agar selamat dari jerat dan perangkap politik yang tak main-main, yang bisa mengubah “baik” menjadi jahat” dan sebaliknya, mengubah “jahat menjadi baik”. Niat dan tujuan berpolitik tentu baik dan mulia. Pertanyaannya, apakah para ulama yang berpolitik sudah siap masuk ke dunia politik dengan cara yang tidak salah? Apakah siap memasuki ajang Pilkada, misalnya, dengan cara yang bersih dari money politics yang nyata-nyata telah merusak sistem politik dari atas sampai bawah?
Catatan ini diakhiri dengan harapan penulis kepada siapa saja ulama yang berpolitik, agar mereka bisa mewarnai dunia politik dengan nilai-nilai kesalehan dan keteladanan. Mereka wajib menjadi pengawal moral politik, memperbaiki sistem yang ada, dan tetap menyuarakan kebenaran dengan cara yang benar. (*)