Hal senada diungkapkan Wina Dwiyana (22). Mahasiswi salah satu perguruan tinggi itu mengaku sering jogging di Dadaha.
Pada hari biasa ia tak begitu terganggu dengan pedagang kaki lima lantaran jumlahnya relatif sedikit.
Namun pada akhir pekan jumlah mereka biasanya bertambah, terutama hari Minggu. Sehingga ia pun sering memilih track lain untuk jogging pada hari libur tersebut.
Baca Juga:OJK Tasikmalaya Gelar Silaturahmi FKIJK, Tingkatkan Kinerja dan Stabilitas Sektor Keuangan Priangan TimurKalak BPBD Kota Tasik Ngaku Tak Bersyahwat Jadi Plt Sekda, Tapi…
“Kalau hari-hari biasa masih lumayan enak lah, gak terlalu pengap suasananya. Masih bisa akselerasi, lari. Kalau hari Minggu itu sudah minta ampun. Saya biasanya kalau Minggu mending jogging di jalan pagi-pagi masih lengang suasananya,” papar dia.
Menanggapi soal rencana penarikan retribusi jogging track sebesar Rp 2000 yang sempat riuh di media sosial, Wina mengaku kurang sepakat.
Sebab menurutnya sejak dulu jogging di Dadaha tak pernah dipungut biaya.
“Ya kalau mau dipungut biaya kenapa tidak dari dulu-dulu. Kita juga kan dengernya syok. Masa, lari di Dadaha yang dulunya gratis jadi harus bayar. Memang murah si Cuma Rp 2000. Tapi kan belum termasuk parkir, terus pedagang juga kadang lapaknya ngalangin jalan buat lari kalau lagi penuh,” tukasnya.
Bayar Rp 5000 Biar Tetap Bisa Jualan
Seorang penual buah-buahan yang menolak nama aslinya disebutkan mengaku tak mau beranjak dari Dadaha. Ina –bukan nama sebenarnya—mengaku rela membayar uang sewa lapak sebesar Rp 5000 kepada pihak tertentu agar bisa tetap berjualan di sekitar lokasi jogging track. Padahal sebelumnya ia telah diminta pindah oleh pengelola Dadaha.
“Bukan ke UPTD (bayarnya). Tapi ada lah yang biasa narik gitu. Kalau posisi saya aman di sini, gak (ngelapak) di tengah yang lari itu,” tuturnya.
Uang bayaran itu disinyalir masuk ke kantong pribadi. Mengingat yang menerima bukanlah UPTD Pengelola Komplek Dadaha. Menurut Ina para pedagang biasanya memanfaatkan kawasan dekat jogging track atau tepatnya di depan tembok Stadion Wiradadaha untuk menggelar tikar atau alasdan menjajakan barang dagangannya. “Ya biasanya gelar tikar buat barang-barang biar bisa jualan,” ungkapnya.