Kepangan rambut, hingga ragam motif jilbab dan kebaya dikenakan para kaum hawa di tanggal 21 April. Mereka berbaris, menghadap sang Merah Putih melaksanakan upacara peringatan Hari Kartini di atas pegunungan.
Ayu Sabrina B, Galunggung
WAKTU pagi tiba. Fajar mulai menyingsing dari arah timur. Para puan menyingkap tirai penutup tenda. Mereka mulai bersolek. Sesegera mungkin bersiap melaksanakan upacara peringatan Hari Kartini di pagi buta.
Hawa Semesta. Begitulah para puan menyebut komunitas perempuan yang terdiri dari berbagai kalangan itu. mereka bermalam di Bukit Nangreu, Gunung Galunggung sejak Sabtu, 20 April 2024.
Baca Juga:Target H Amir Mahpud: Sukseskan Tiga Pilkada Sekaligus dan Pilgub Jabar 2024, Wow!!KH Atam Rustam Dapat Rekomendasi dari PGM Indonesia untuk Maju di Pilkada 2024!
Jumlahnya 39 orang. Semuanya perempuan. Berbagai latar belakang. Mulai ibu rumah tangga, aktivis sosial, guru perempuan, seniman dan budayawan perempuan, hingga anak perempuan. Semua saling bertukar gagasan dan dukungan.
Mereka sepakat bahwa Kartini mengajarkan hidup yang sarat dengan penghormatan. Juga mengutamakan nilai kemanusiaan dan menepis fanatisme terhadap identitas keagamaan. Ia mengkritik pihak yang mengatasnamakan agama dan menyebabkan ketidakadilan.
Kartini selalu diperkenalkan sebagai sosok pahlawan yang identik dengan perjuangan pendidikan perempuan. Dasarnya adalah karena Kartini mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan untuk pertama kalinya di Hindia Belanda.
“Sosok ibu R.A Kartini ini adalah pembuka jalan emansipasi bagi perempuan. Membuka peluang pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia. Sehingga kita sekarang bisa setara, sama, dan sejajar dengan kaum adam. Pendidikan kita tidak terbatas lagi,” kata Ketua Dharma Wanita Persatuan Kota Tasikmalaya, Eva Arifah Dicksan.
Begitupun yang diungkapkan pengamat perempuan dan anak sekaligus Direktur Taman Jingga, Ipa Zumrotul Falihah. Ia menyebut bahwa menjadi kaum hawa di masa kini perlu dukungan sesama. Lantaran sebutan ‘lemah’ dan diskriminatif tidak lagi dari lawan jenis saja.
“Lemah sebenarnya bukan karena perempuan diciptakan oleh Tuhan lemah, tetapi karena dikonstruk. Ada suatu pengasuhan, budaya, yang melemahkan perempuan. Budaya itu sampai saat ini masih ada,” ujarnya saat memberikan materi soal ‘Perempuan Berdaya’.
Menurut Ipa semua perempuan punya kesempatan yang sama. Hal itu menunjukkan bahwa kaum hawa tidak menjadi objek tetapi menjadi subjek.