TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Menjelang hari pencoblosan Pilpres dan Pileg pada 14 Februari 2024. Sikap pragmatisme di masyarakat semakin tinggi, hal ini tentu membuat keprihatinan.
Seperti diungkapkan pengamat politik Tasikmalaya Asep M Tamam. Dia mengaku prihatin dengan pragmatisme politik yang terjadi khususnya di Tasikmalaya. Karena dengan kondisi tersebut, visi misi dan janji politik seolah tidak menjadi penentu keterpilihan.
“Pilihan warga pemilih adalah apa dan berapa yang diperoleh, tentu ini sangat memprihatinkan, ” ungkapnya.
Baca Juga:Pesan Dari Dewan Untuk Ucu Anwar Setelah Jadi Plt Kadisdik Kota TasikmalayaIbu Guru PNS di Tasikmalaya Bernyanyi Coblos Prabowo – Gibran Untuk Pemilu 2024
Situasi ini pun, kata Asep, seolah memaksa peserta pemilu khususnya para caleg untuk masuk dalam pola pragmatisme yang dia sebut politik pasar. Di mana pasar merupakan tempat untuk melakukan jual beli apa yanag diinginkan atau dibutuhkan. “Setiap pergerakan memaksa mereka untuk mengerti apa keinginan pasar,” ucapnya.
Pada akhirnya, sambung Asep, para caleg pun seolah melupakan visi dan misi ketika nanti duduk di kursi legislatif. Karena mereka terlalu fokus bahkan kehabisan energi untuk memikirkannya. “Ketika kita ajukan pertanyaan, “Apa tujuan Anda melakukan semua ini?” Pasti mereka tak bisa menjawabnya,” terangnya.
Apalagi, kata Asep, kondisi masyarakat saat ini diperparah dengan kinerja Bawaslu yang harusnya membangun pemilu berkualitas melalui pengawasan pelanggaran, seolah tidak berdaya menghadapi fenomena pragmatisme ini.
Sebab mereka tidak memiliki karya yang merupakan hasil kinerja dalam perhelatan politik ini. “Di antaranya karyanya adalah penindakan pelanggaran yang terjadi,” ucapnya.
Begitu juga dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurutnya harus melakukan sesuatu agar para pemilih semakin melek terhadap pemilu yang berkualitas. Pendidikan politik yang baik menurutnya tidak begitu nampak kepada masyarakat. “Agar pelaksanaan Pemilu tak sekadar formalitas yang prosedural,” ucapnya.
Dalam Pemilu 2024 ini, sekitar 50% masyarakat merupakan kamu muda bahkan tidak sedikit yang merupakan pemilih pemula. Menurutnya mereka yang belum banyak terkontaminasi harus terus digodok dengan pendidikan politik yang optimal. “Jika pemilih pertama ini mampu memilih dengan rasional, kita bisa menitipkan bonus demografi ini dengan tatapan mantap ke depan,” ucapnya.