Padahal, ia berharap produknya bisa dipakai pemain tim andalan Kota Tasikmalaya. Tetapi, pesanan itu tak kunjung datang ke pabrik yang menyatu dengan rumahnya itu.
“Belum pernah ada yang pakai, justru dari luar banyak yang pesan. Dulu sih ada didata untuk UMKM Kota Tasikmalaya katanya, tapi setelah itu tidak ada apa-apa lagi,” paparnya.
Meski Prostik sudah dipatenkan, ia tak bisa pungkiri persaingan label yang masih melekat dengan standar produk luar. Sehingga masih banyak pemain bola yang lebih memilih sepatu merek terkenal yang juga sudah lama bercokol di pasar peralatan olahraga.
Baca Juga:Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Kota Tasikmalaya Terhadap Risiko Bencana Disebut Kurang14 Tunanetra di Kota Tasikmalaya Menerima Bantuan Modal Usaha dari Kemensos
“Gatau lah kenapa orang-orang belum tahu (Prostik), mungkin dari fanatik merk lain, Prostik sudah masuk merk paten 2008,” ujarnya.
Ia juga pernah kedapatan orderan custom, saat konsumen menginginkan merk lain yang ditempel di sepatu buatan Dedi dan anaknya itu.
“Pengen ada produksi dari Tasikmalaya, pengen mengangkat pengrajin dari Tasik sampai bisa jual produk ke luar,” tandas Dedi.
Dari Hobi Bola jadi Warisan Keluarga
Sejak tahun 1974 Dedi yang kala itu masih mencari pekerjaan, belum mengenal produksi sepatu yang merupakan warisan sang ayah. Setelah lama pekerja sebagai buruh di Kota Bandung, ia kembali ke kota santri dan membuka usaha yang kini sudah punya pabrik dan toko sepatu sendiri, sejak tahun 2007.
“Saya sedang belajar dari tahun 1974, dari bekerja buruh. Mulai buka usaha ini 2007. Saya ke sana ke mari cari duit susah, ada yang mau jual tanah, coba tawarkan ini tanah kalau mau modal, kalau laku saya akan dipinjamkna satu juta katanya gitu,” tuturnya.
“Udah laku, saya dikasih 500, ojek 100 modal 400. Modal pinjam. Saya percaya diri aja bersaing sengan merk lain. Meskipun memang, butuh satu tahun untuk bisa mulai mengenalkan Prostik ke pasaran,” pungkasnya.