TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Unit Penunjang Akademik (UPA) Perpustakaan Universitas Siliwangi (Unsil) kembali menggelar Bincang Buku di Kampus bersama Langgam Pustaka.
59 puisi pilihan “Dari Penjaga Bumi ke Penyimpan Rahasia” karya Hikmat Gumelar, jadi bahan diskusi giat literasi itu pada Senin (6/11).
Salah satu penggalan kumpulan puisi itu, seperti “Manusia lebih tinggi dari gunung, sepatu lars & peluru. Tak akan sampai di situ (ISTANA PASIR, GUNUNG, JALAN)”.
Baca Juga:Tangani Masalah Lingkungan, Dewan Usul Acara Pejabat Jangan Ada Makanan Kemasan PlastikPj Wali Kota Tasikmalaya Siap Curi Start Sambut Tol Getaci
“Kang hikmat menulis tema-tema tersebut tidak jauh dari pandangannya. Tidak menjadi kasuistik dalam kehidupan. Saya akan selalu menkontekstualkan dari 59 puisi itu. Penyair senjata paling intinya adalah ia harus peka apa yang terjadi. Sudahkah kita peka dengan peristiwa-peristiwa yang melintas dalam hidup kita?” kata Kepala Perpustakaan Unsil Budi Riswandi MPd.
Seniman kondang yang lebih dikenal dengan nama Bode itu, juga menjelaskan bahwa yang ia tafsirkan dari puisi-puisi tersebut, belum tentu sama dengan apa yang diniatkan Mamat kepada pembaca. Ia menerangkan, bahwa pembaca memiliki ‘kemerdekaan’ untuk menafsirkan setiap teks, termasuk puisi.
“Yang saya hadapi adalah anak lahiriah dari Kang Hikmat Gumelar, bukan personalnya. Jadi belum tentu apa yang ditafsirkan oleh saya, adalah niat awal kang Hikmat sebagai the first writer,” jelasnya.
Sepakat dengan apa yang dipaparkan Bode, sang penulis yang akan berusia 59 tahun 9 November mendatang itu, juga membiarkan para pembaca bebas menafsirkan maksud puisi-puisinya.
“Pembaca itu menafsir, setiap menafsir pasti tergelincir, berdosa. Tetapi, tanpa dosa tidak akan ada dunia. Karena, seseorang menulis dalam ruang tertentu dan waktu tertentu kondisi tertentu. Apa yang ditulisnya, kemudian dibaca pada ruang waktu yang berbeda, maka dengan sendirinya makna yang diniatkan penulis, salah satu saja kemungkinan makna,” paparnya.
Peserta Bincang Buku lantas penasaran, dan bertanya bagaimana Hikmat Gumelar bisa ‘berkomunikasi’ dengan alam dan menciptakan 59 puisi tersebut.
“Saya memahami puisi itu, konsekuensi dari hidup kita yang penuh. Berusaha keluar dari budaya pragmentasi. Dengan hidup yang penuh, kita jadi terhubung termasuk dengan diri kita sendiri. Yang kemudian mereka akan mengatakan, bagaiaman kondisinya. Kalau saya tinggal menuliskan saja. Hanya tentu saja, untuk memungkinkan menuliskannya, saya belajar memperbanyak kosa kata. Hal-hal yang elementer yang harus dilakukan,” lengkapnya.