Peneliti kebijakan anggaran pemerintah ini pun, menemukan adanya anomali pada indeks statistik baru-baru ini.
Dimana, ketika disandingkan dengan data makro lain yang sama-sama dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya IPM Kota Tasikmalaya yang masuk dalam 10 besar di Jawa Barat, atau tepatnya urutan ke 8. Kondisi itu, relatif cukup stabil dalam beberapa tahun terakhir. Tak pernah turun secara menukik atau naik signifikan.
“Apabila kita telaah, indikator IPM itu aspeknya mulai dari pendidikan, kesehatan dan daya beli atau ekonomi yang berkorelasi dengan kemiskinan. Nah, sementara di satu sisi kemiskinan kita tertinggi ketiga di Jawa Barat. Artinya ini ada anomali, karena seharusnya angka statistik IPM dengan kemiskinan related (berkaitan, red) karena kemiskinan berkontribusi bagi daya beli yang ada di komponen IPM yang angkanya malah bagus,” ungkapnya keheranan.
Baca Juga:Pj Wali Kota Tasikmalaya: Selama Oktober2023 Digelar Sebanyak 31 EventAPES! COD Minuman Beralkohol di Halte HZ Mustofa, 3 Pemuda Disergap Polisi
Belum lagi berbicara indeks laju Ekonomi Kota Tasikmalaya juga menunjukan angka relatif baik di jajaran daerah maju se-Jawa Barat.
Kondisi itu, lanjut dia, menuntut Pj wali kota untuk memeriksa kembali lebih dalam, agar menemukan penyebab anomali setelah angka kemiskinan turun lantaran data penerimanya banyak yang tidak tepat sasaran bantuan.
“Harus jadi pekerjaan rumah, sebab, saya menduga intervensi penanggulangan kemiskinan yang selama ini digulirkan lewat program Pemkot itu tidak efektiff. Dibuktikan hasil analisisi perkumpulan inisiatif, dimana Kota Tasikmalaya itu selama 5 tahun belanja APBD untuk mengatrol kesejahteraan publik, masuk kategori tidak efektif. Apalagi jika bandingkan dengan daerah lain seperti Ciamis, Indramayu misalnya, kota kita tak cukup bagus. Mereka efektif belanja APBD untuk mengatrol IPM kalau lihat perbandidngan,” katanya mencermati hasil kajian.
Dia menegaskan Pj wali kota untuk kembali ‘menyeporkan’ ASN Pemkot agar lebih fokus. Disamping saat ini terus diseporkan dengan menjadi anak asuh balita stunting, yang secara persentase belum berefek signifikan dikala dikonversi dengan jumlah warga membutuhkan bantuan gizi.