Ia juga menyoroti langkah pemerintah yang selalu meminta perempuan untuk waspada sementara pelakunya tidak ditangani atau dilakukan pencegahan.
“Yang selalu disuruh waspada ini perempuan, seolah lupa mengedukasi masyarakat bahwa pelecehan dan kekerasan seksual ini bukan hanya berhubungan badan tanpa persetujuan. Hal-hal seperti cat calling, penguntitan secara langsung, maupun lewat media online pun itu adalah kejahatan,” terangnya.
Perempuan yang fokus dalam studi perempuan dan anak itu meminta DPPKBP3A tidak menunggu tunggu kasus kekerasan atau pun pelecehan menjadi viral baru gencar edukasi. Tetapi mengambil langkah deteksi dini.
Baca Juga:Akademisi Sarankan Retribusi Parkir Kota Tasikmalaya Dipungut Berdasarkan Kelas KendaraanSiap Disahkan di Paripurna, Hotel dan Restoran di Kota Tasikmalaya Jadi Salah Satu Penyumbang Terbesar Pendapatan Asli Daerah
“Beberapa kali KOHATI turun langsung datang ke korban, seperti pada kasus penguntitan kepada remaja di Pancasila, ternyata belum ada penanganan apapun dari pemerintah. Mereka sempat melapor hingga akhirnya kasus itu muncul di TikTok dan kerusakan rumah terjadi. Kasusnya sudah ditangani namun kekecewaan dari keluarga masih ada karena tidak sesuai dengan harapan hukuman untuk pelaku,” ungkapnya.
Baginya, edukasi bukanlah hanya tertuju pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Tetapi juga, pada kaum laki-laki yang juga rentan menjadi pelaku.
“Pelaku bukan hanya orang yang tidak terdidik, bahkan orang memiliki jabatan penting pun banyak yang melakukan itu, sehingga pergantian kepemimpinan ataupun pemilihan pejabat daerah pun harus dilihat track record terkait kepedulian terhadap isu kekerasan di kota santri ini,” tutur Anisa. (mg3)
Baca berita dan artikel lainnya di Google News