TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Penggunaan gawai atau gadget sudah menjadi kebutuhan di era digital seperti sekarang.
Bahkan tidak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan sehari-hari. Hanya saja, peranti elektronik dengan fungsi praktis ini, memengaruhi pola ajar baca tulis Braille, serta menjadi satu keprihatinan bagi kalangan pendidik kaum disabilitas netra.
Sesepuh Yayasan Majelis Tuna Netra Al-Hikmah Kota Tasikmalaya Mamat Rahmat mengungkapkan bahwa keberadaan gadget menjadi satu keprihatinan bagi dirinya bersama para pengurus yayasan lain.
Baca Juga:Cari Peluang Stabilkan Harga Komoditas, Pj Wali Kota Tasikmalaya Cheka Virgowansyah Kunjungi Rumah Potong Ayam di CiamisSoal Rotasi Mutasi, Dari Rencana Pemanggilan Menjadi Pertemuan di Bale Kota Tasikmalaya, Ada Apa dengan Komisi I?
Kehadiran gadget sangat mempengaruhi terhadap minat baca tulis Braille bagi kalangan disabilitas netra.
“Membaca itu penting! Membaca itu berbeda dengan mendengar. Dari hasil penyerapan membaca dengan mendengar, penyerapannya lebih besar membaca. Karena dengan membaca, kalangan disabilitas itu lebih bisa membayangkan,” terang Mamat, Rabu (2/8/2023).
Menurutnya kemajuan teknologi menjadi tantangan besar bagi keberlangsungan pola Pendidikan baca tulis Braille.
Selain kemajuan teknologi, pendamping disabilitas menjadi penentu dalam keberhasilan Pendidikan baca tulis Braille.
Fungsi guru pendamping disabilitas memiliki peran sebagai motivator dalam pembelajaran baca tulis Braille.
“Justru yang menjadi pekerjaan rumah saya saat ini dengan senior-senior adalah kehilangan identitas disabilitas terutama masalah baca tulis yang tidak begitu minat. Yang jadi penyebabnya adalah salah satunya dari kemajuan teknologi,” ucap Mamat.
Mamat menilai, kesungguhan guru-guru dalam memberikan pembelajaran baca tulis Braille menjadi faktor penentu.
Baca Juga:Resimen Mahasiswa Unsil Dampingi Pengembangan UMKM di Setiajaya Cibeureum Kota TasikmalayaSoal Sweeping yang Melibatkan Ormas, Polisi Dianggap Hanya Beretorika
Karena, kata dia, guru bagi disabilitas netra berfungsi menjadi pendamping dan pengasuh sehingga kehadirannya harus bisa memotivasi peserta didik untuk belajar membaca dan menulis Braille.
“Tetapi dengan adanya teknologi yang semakin berkembang mungkin guru-guru terbawa arus juga, buktinya sekarang anak-anak yang sudah SMP SMA juga masalah kemampuan baca tulis itu sangat minim,” keluhnya.
Mantan Kasi Rahabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Luar Panti Kementerian Sosial RI yang kini aktif di Yayasan Louis Braille Indonesia, Agus Diono MSi menyebut saat ini di berbagai daerah banyak menemukan Penyandang Disabilitas Sensorik Netra yang tidak dapat membaca dan menulis huruf Braille.