TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Dewan Pers bekerja sama dengan BNPT memberikan pencerahan kepada para jurnalis se-Priangan Timur melalui workshop di Hotel Santika, Selasa (13/6/2023). Ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan jurnalis dalam pemberitaan atau peliputan kasus terorisme.
Workshop tersebut merupakan kolaborasi antara Dewan Pers dan juga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di mana kolaborasi itu ditujukan guna mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme dari sudut pandang pers.
Hadir pada kesempatan itu Wakil Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya bersama anggotanya Yadi Hendriana dan Totok Suryanto. Selain itu ada juga Kasubdit Pengamanan Lingkungan BNPT Kolonel Laut Setyo Pranowo SH MM dan penyintas kasus bom di Cirebon pada 2011 silam Kompol Kurnia.
Baca Juga:Pesan Pj Wali Kota Tasikmalaya Cheka Virgowansyah Untuk Pengurus PSSI, Berdayakan Anak Muda!MI Persis Cempakawarna Sudah Siap Hadapi Tantangan Pendidikan, 61 Siswa Diwisuda Dengan Bekal Ilmu Agama
Pada kesempatan itu, Yadi Hendriana memaparkan jurnalis perlu memahami tujuan dari sebuah aksi terorisme. Di mana bukan sekadar meledakkan bom atau sejenisnya. “Tapi menyebar ketakutan di masyarakat,” ucapnya.
Maka dari itu jurnalis perlu mempertimbangkan materi pemberitaan supaya tidak mendukung tujuan dari pelaku teror. “Kita harus menggagalkan tujuan pelaku teroris menebarkan ketakutan,” ungkapnya.
Pernah beberapa kasus kekeliruan jurnalis dalam meliput dan memberitakan. Salah satunya kasus seorang wartawan TV yang bersedia mendokumentasikan peristiwa teror demi mendapatkan gambar yang bagus. “Pada akhirnya wartawan itu diproses hukum karena membiarkan kejahatan kemanusiaan yang akan terjadi,” ucapnya.
Secara produk, jurnalis jangan sampai membuat berita yang memancing orang untuk menjadi pelaku terorisme. Seperti halnya memaparkan secara detil bagaimana pelaku membuat bom supaya tidak menjadi tutorial.
Termasuk memberitakan keluarga dari seorang pelaku terorisme. Karena hal itu akan berdampak pada opini publik yang bisa berdampak negatif kepada mereka. “Jejak digital itu sangat kuat,” ucapnya.
Begitu juga dalam proses peliputan, jurnalis harus memprioritaskan keselamatan diri. Jangan sampai demi mendapatkan gambar yang baik, nyawa menjadi taruhannya.
Sejurus dengan itu Totok Suryanto mengatakan dalam kasus terorisme, identitas atau foto narasumber menjadi sangat sensitif. Termasuk dari identitas jurnalis itu sendiri.