“Kader-kader terbaik yang ideologis punya kapasitas untuk bekerja namun tidak begitu popular, perlahan-lahan tersingkir dari lingkaran partai dan digantikan oleh figur-figur terkenal yang nyatanya kadang-kadang belum tentu bisa bekerja dengan baik,” tegas Yusril.
Sejatinya, sistem yang berlaku sejak era reformasi 1998 itu bertujuan menghilangkan jarak antara kandidat dengan rakyat sebagai pemilik aspirasi. Namun tampaknya ada side effect. Sistem itu memberikan dampak yang kurang baik pada proses demokrasi.
Seperti meluasnya praktik politik uang hingga ke masyarakat sipil. Sebab sudah bukan rahasia lagi ketika mendekati hari pemilihan, kandidat harus melakukan praktik “serangan fajar” untuk memaksimalkan raihan suara.
Baca Juga:Pemkot Banjar Lindungi Petani dari Kebangkrutan Lewat Asuransi Usaha Tani PadiCaleg dan Parpol Dibuat Galau dengan Sistem Pemilu, Apakah Akan Menggunakan Proporsional Terbuka Atau Tertutup?
Alasan mereka adalah bahwa sistem Pemilu dengan proporsional terbuka yang saat ini berlaku, lahir sebagai produk lintasan sejarah yang cukup panjang. Sistem yang digunakan saat ini merupakan evaluasi atas “trauma” masa lalu. Yaitu masa orde baru
“Alasan yang kedua, sebagai sebuah sistem, baik itu proporsional terbuka maupun tertutup, keduanya mempunyai plus dan minus yang saling menegasikan,” kata Heru.
Heru menegaskan bahwa pilihan terhadap sistem proporsional terbuka tidak lain karena sistem proporsional tertutup memiliki sejumlah kelemahan.
Antara lain terkuncinya kanal partisipasi publik atau masyarakat pada lingkup yang lebih luas. Serta, menjauhkan hubungan wakil rakyat dengan pemilihnya. Selain itu, komunikasi politik juga tidak berjalan pada sistem ini sehingga kesempatan keterpilihan calon wakil rakyat menjadi lebih tidak adil.