“Anak sampai dengan usia 18 tahun, baik anak laki-laki atau perempuan akan terdampak secara psikologis. Kita semua paham, mereka seharusnya masih di bangku sekolah, masih mencari jati diri dan belum memiliki kematangan untuk menikah,” kata dia.
Menurut dia, untuk perempuan siap secara alat reproduksinya di usia 19 tahun. Ketika seseorang melaksanakan pernikahan di bawah 18 tahun, dengan sendirinya keberlangsungan pendidikannya terancam. “Apalagi belum ada undang-undang yang mengatur anak sekolah sedang hamil,” jelas dia.
“Bagaimana mereka bisa melaksanakan pola asuh bagi calon anaknya sementara mereka masih dalam pengasuhan orang tuanya,” paparnya, menjelaskan.
Baca Juga:Fasilitas Taman Mulai RusakMenebar Film Kearifan Lokal Lewat Program Sinema Mikro
Dia menambahkan, calon orang tua harus mempersiapkan segalanya apabila anaknya ingin berkembang dengan baik, dari pola asuh, pemberian gizinya, asupan makanan untuk pertumbuhan calon anaknya.
“Sementara calon ibunya sendiri belum siap secara mental, kecuali yang sudah terlanjur menikah di bawah umur harus ada pendampingan dari orang tuanya,” ungkap dia.
Kalaupun Diizinkan, Syaratnya Diperketat
PRAKTISI Psikologi Pendidikan dan Keluarga KPAID Kabupaten Tasikmalaya Nia Indah Pujiati MPd mengatakan, dari sisi psikologis nikah di bawah umur dampaknya secara psikologis, dilihat dulu dari berbagai sisi.
Pertama pernikahan yang bertujuan untuk menciptakan hubungan pria-wanita yang damai, harmonis dan memunculkan rasa kehidupan yang bahagia. “Tentu pernikahan bukan sekadar dilihat dari usia saja, namun juga perlu diperhatikan kematangan berpikir serta kematangan emosi setiap pasangan yang akan menikah,” ungkap dia.
Menurut dia, terkait dengan kebijakan pernikahan di bawah umur sebagai solusi dari pergaulan bebas (pacaran) saat ini tentu akan berdampak secara psikologis. Usia remaja masih memerlukan pendampingan secara mental oleh orang dewasa, apalagi ini berkaitan dengan pernikahan yang notabene adalah hubungan komitmen sepanjang hidup.
“Maka, jika kebijakan pernikahan ini menjadi salah satu solusi, perlu juga ada pendampingan psikologis baik bimbingan pranikah maupun pascanikah,” paparnya.
Bimbingan pra nikah, kata dia, dilaksanakan untuk mengantisipasi tingginya angka pertengkaran, kasus kekerasan dalam rumah tangga, depresi hingga meningkatnya angka perceraian. “Maka dukungan secara mental diperlukan sebagai intervensi awal untuk keberlangsungan kesehatan mental generasi mendatang,” paparnya.