Tapi, sebagai mahasiswa, mereka tetap harus membayar uang kuliah. Kalau ditotal, SPP-nya saja, bisa mencapai Rp 150 juta.
Maka inilah dokter yang tidak bisa cari uang karena kuliah, bekerja penuh sebagai dokter di rumah sakit, masih harus membayar pula.
Itu menjadi salah satu penyebab mengapa sulit mencetak spesialis. Akibatnya jumlah dokter spesialis sangat kurang.
Baca Juga:Ketua RT Dihantam LinggisJuara Kopi
Menkes tidak sependapat kalau persoalannya bukan jumlah melainkan penyebarannya. ”Saya siap berdebat dengan siapa pun soal ini. Asal debat ilmiah. Pakai data,” katanya. ”Penyebarannya memang kurang bagus. Tapi jumlahnya juga sangat kurang,” katanya.
Di forum itu lantas dibicarakan soal kemampuan universitas memproduksi spesialis. Jumlah fakultas kedokteran hanya 92. Yang punya spesialis hanya 20. Kemampuan tiap tahunnya sudah terbukti segitu. Bagaimana bisa mengejar kekurangan spesialis. ”Sampai kita mati pun belum akan terkejar,” kata Budi Sadikin. ”Kita ini sudah 77 tahun merdeka. Mengapa belum juga bisa memenuhi amanat kemerdekaan,” tambahnya.
Maka Menkes bertekad akan mengubah semua itu. Sudah terbukti: dengan cara sekarang ini tidak akan mampu mencetak spesialis yang cukup.
Maka sebentar lagi yang bertugas mencetak spesialis bukan lagi fakultas kedokteran. Tugas itu beralih ke rumah sakit.
Yang meluluskan spesialis bukan lagi fakultas kedokteran, tapi rumah sakit. Bukan kementerian pendidikan tapi kementerian kesehatan.
”Yang merasakan perlunya spesialis adalah rumah sakit. Toh kuliah mereka juga di rumah sakit,” katanya.
Maka, kalau yang mencetak spesialis nanti bukan lagi universitas mereka tidak perlu lagi membayar uang kuliah. ”Dan lagi, jumlah rumah sakit jauh lebih banyak daripada fakultas kedokteran,” ujar Budi Sadikin.
Baca Juga:Bukan Kota Termiskin Lagi?Garut Kencang, Tasik Tiga Kali Diguncang
Kalau ”university base” benar-benar berganti menjadi ”hospital base” ini sebuah transformasi yang besar di dunia kedokteran dan kesehatan.
Menkes pun blak-blakan mengungkapkan: mengapa universitas sebesar Gadjah Mada tidak punya program spesialis paru. ”Itu hanya karena prodi penyakit dalam tidak rela ada program spesialis paru,” katanya. ”Ini sangat tidak masuk akal. Tidak ilmiah sama sekali,” tambahnya.
Hal serupa terjadi di Universitas Sriwijaya, Palembang. Di sana tidak bisa membuka spesialis jantung. ”Penyebabnya hanya karena program spesialis lain tidak setuju,” katanya.