Sebenarnya agak aneh kita punya pabrik aluminium di Kuala Tanjung, Sumut. Provinsi itu sama sekali tidak punya bauksit. Bahan baku untuk Sumut itu diimpor dari Australia.
Sedang Kalbar punya bahan baku melimpah. Justru tidak punya industrinya. Kebalikan dengan Sumut yang punya industrinya tanpa punya bahan baku.
Itu karena di Kuala Tanjung tersedia sumber listrik murah: dari PLTA Asahan. Dengan cara memanfaatkan limpahan air dari Danau Toba. Jepang membangun PLTA itu. Khusus agar Jepang bisa membangun pabrik aluminium di Kuala Tanjung. Bahan baku bisa diimpor.
Baca Juga:Kopi Guranteng Menuju EksporKenduri Kabinet
Masalahnya, Kalbar tidak punya sumber listrik murah seperti itu. Berarti jalan buntu.
Kecuali pemerintah berani memutuskan ini: membangun pembangkit tenaga nuklir di pulau kecil di tengah laut itu.
Luas pulau itu rasanya lebih 200 hektare. Jauh dari daratan. Aman. Apalagi dengan teknologi nuklir masa kini.
Kalau semua itu bisa terwujud maka kita harus ingat: lokomotif pendorongnya adalah investasi Rp 3 triliun di pelabuhan Kijing itu.
Maka bisa jadi yang sekarang dianggap pemborosan itu ternyata lokomotif besar masa depan.
Gara-gara pelabuhan itu, jalan dilebarkan. Industri sawit dibangun. Hilirisasi bauksit terwujud. Listrik nuklir jadi kenyataan.
Maka Kalbar pun tidak hanya berstatus provinsi penerima nasib. Ia bisa merencanakan nasib. Kalau sempat. (*)
Baca Juga:Kinerja ASN DPUTRLH Terus DitingkatkanGadis SMP Diduga Dibunuh
 NB: Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/.
[/membersonly]
Belum berlangganan Epaper? Silakan klik Daftar!