UYA KUYA jelas dari mana asalnya, tapi RUU Omnibus Law bidang Kesehatan ini beredar begitu saja. Saya terima tiga kali. Dari pengirim yang berbeda. Setiap saya tanya asalnya dari mana, jawabnya sama: sudah beredar di medsos.
Tidak ada tanda-tanda itu bikinan pemerintah. Setidaknya tidak ada logo instansi pemerintah di draf itu. Tidak ada juga identitas lembaga apa pun.
Apakah itu RUU inisiatif DPR? Tidak juga. Belum ada fraksi yang mengaku sebagai pengusulnya. DPR hanya mengaku sedang melakukan penjaringan pendapat umum soal RUU itu. Sudah lebih 20 kelompok masyarakat yang didengar oleh Komisi IX DPR.
Baca Juga:PrihatinKerja Prakerja
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bereaksi keras: menolak RUU Omnibus Law bidang Kesehatan itu. Prosedur pengusulannya dianggap tidak benar, rumusannya tidak tepat, dan isinya tidak bisa diterima. Lima organisasi tenaga kesehatan juga mengajukan keberatan yang sama. Bahkan di Lamongan mereka demo: jalan kaki ke kantor DPRD Lamongan. Senin lalu. Mereka membawa spanduk penolakan. Di DPRD itu mereka menjelaskan mengapa menolak.
RUU Omnibus Law bidang Kesehatan ini tebal sekali: 490 halaman. Isinya sangat sistematis. Sudah seperti RUU yang matang. Siap disahkan. Tinggal menunggu palu dipukulkan ke meja ketua sidang.
Dasar utama draft itu adalah pidato kenegaraan Presiden Jokowi di depan DPR/DPD menjelang 17 Agustus lalu. Terutama yang terkait perlunya transformasi bidang kesehatan.
Dasar berikutnya: ketidakcukupan tenaga dokter, tidak meratanya mereka, besarnya impor alat kesehatan, banyaknya pasien yang berobat ke luar negeri dan besarnya porsi biaya untuk penyakit yang bukan menular.
Tapi yang juga jadi alasan utama adalah lemahnya peran pemerintah selama ini dalam mengatur tenaga dokter. Seolah pemerintah tidak bisa memerintah. Kekuasaannya kalah dengan organisasi profesi dokter. Maka dengan RUU ini terlihat pemerintah akan mengambil alih ”hak memerintah” itu.
Rasanya tidak mungkin Uya Kuya yang membuat draf itu. Kajiannya mendalam. Termasuk bagaimana Malaysia menyelenggarakan turisme medis. Bagaimana Jepang membebankan biaya pengobatan bersama antara pasien dan asuransi kesehatan.