SISTEM Pemilu di Muhammadiyah semakin teruji—baiknya. Kemarin sore Muktamar Muhammadiyah ke 48 itu pun bisa berakhir seperti biasanya: sangat damai. Tidak ada kubu-kubuan. Tidak ada tim sukses. Tidak ada kampanye terselubung. Dan yang jelas: tidak ada serangan fajar. Politik uang sama sekali tak tercium.
Yang terpilih menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun Anda sudah tahu: Prof Dr Haedar Nashir. Sosok lama yang terpilih kembali. Untuk periode kedua.
Saya merenungkannya: mungkinkah sistem Pemilu Muhammadiyah ini diadopsi untuk pilpres tingkat negara Indonesia. Kita tahu pemilu dan pilpres kita itu terlalu berdarah-darah. Terlalu mahal. Terlalu memecah belah masyarakat. Kita memang bangga pada sistem demokrasi Amerika tapi kita tidak siap menirunya apa adanya.
Baca Juga:Atasi Sampah Butuh KonsistensiCari Solusi Tangani Masalah Masyarakat
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Saya dikirimi foto dari Solo, tempat Muktamar Muhammadiyah itu berlangsung. Sidang plenonya dilakukan di auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sahabat Disway itu menyebut inilah auditorium terbesar, termegah, dan terbaik di seluruh Jawa Tengah.
Di situlah peserta muktamar terpusat. Di luarnya puluhan ribu warga Muhammadiyah menyaksikannnya: lewat pikiran masing-masing. Mereka datang dari berbagai wilayah dengan status khusus: penggembira. Mereka bukan utusan. Mereka bukan peserta. Mereka bukan pendukung salah satu calon ketua. Mereka tidak punya hak suara. Mereka tidak punya hak bicara. Mereka hanya punya hak untuk bergembira.
Dan mereka gembira dengan budaya bersih dan damai di Muktamar Muhammadiyah. Termasuk tahun ini bersih secara fisik: tidak ada sampah di tengah puluhan ribu massa. Mereka sudah tahu itu. Sebelum berangkat ke Solo mereka sudah harus membawa misi inilah green Muktamar.
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) memang salah satu dari 4 universitas terbesar milik Muhammadiyah. Tiga lainnya: UMM (Malang), UMY (Yogyakarta), dan UMSU (Medan). Di luar itu Muhammadiyah masih punya lebih 180 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Bahkan sekarang ini Muhammadiyah sudah punya 6 SMA di wilayah yang mayoritas masyarakatnya Kristen atau Katolik. Di Flores. Di Timor. Di Papua. Di pedalaman Kalbar. Kebanyakan siswa sekolah Muhammadiyah di situ beragama Kristen/Katolik. Mereka mendapatkan pelajaran agama Kristen/Katolik. Tidak mendapatkan pelajaran agama Islam. Mereka mendapat pelajaran tambahan ke-Muhammadiyah-an.